Minggu, 25 Desember 2011

Makalah Banding

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik allah semata karena Dialah yang memberikan kekuatan dan kesempatan bagi kita semua sehingga kita dapat merasakan udara sejuk pada pagi hari dan merasakan kegelapan malam, subhanalllah Maha Suci Allah tuhan semesta alam.
         Sholawat berangkaikan salam, semoga selalu tercurahkan kepada junjungan alam nabi akhir zaman pembawa salam dan islam nabi besar Muhammad SAW, beliau bagaikan embun penyejuk pada setiap insan karena beliau telah membawa kita dari jurang-jurang kebathilan sehingga kita dapat merasakan ni’mat iman, islam dan ihsan.
         Alhamdulillah, berkat izin Allah SWT makalah ini bisa diselesaikan, walaupun dalam penyelesaian makalah ini kami rasakan banyaknya RINTANGAN yang menghalangi kami tapi pada akhirnya kami bisa juga menyelesaikan makalah ini, dimana dalam makalah ini kami membahas tentang “BANDING”, walaupun kami sadari dalam penulisan makalah ini kami rasa banyak sekali kekurangan dan kesalahan.
       Layaknya sebagai seorang manusia yang tidak pernah putus dari kesalahan-kesalahan. Maka dari itu kami mengharap adanya kritik dan saran yang bersifat membangun, sehingga dapat dijadikan bahan perbaikan bagi diri kami.

                                                                                               
                                                                                   

                                                                                                                       
                                                                                                                        Bandung, April 2011
                                                                                      


                                                             
                                                                                      
 DAFTAR ISI

COVER  
KATA PENGANTAR ………………………………………………………............    i
DAFTAR ISI …………………………………………………………………...........    ii

BAB    I      PENDAHULUAN                                       
A.Latar Belakang Masalah ……………………………………………………   1
B.Identifikasi Masalah …………………………………....……………….…..  1

BAB II PEMBAHASAN
A.Pengertian Banding…………..……………………..............................     3
B.     Dasar Hukum Mengenai Banding….………………………….…….......     5
C.     Syarat dan Tata Cara Banding.……………………………..……………    10
 BAB III ANALISIS
A.     Analisis Banding……………………………………………….…….......    11

BAB IV PENUTUP
A.     Kesimpulan…………………………………………………………….....   12
DAFTAR PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

       Salah satu upaya hukum yang biasa adalah banding. Lembaga banding diadakan dibuat oleh pembuat undang-undang, oleh karena dikhawatirkan bahwa hakim yang adalah manusia biasa, membuat kesakahan dalam menjatuhkan sesuatu putusan. Oleh karena itu, dibuka kemungkinan bagi orang yang dikalahkan untuk mengajukan permohonan banding kepada pengadilan tinggi.
       Dengan diajukan permohonan banding, perkara menjadi mentah lagi. Putusan pengadilan negeri, kecuali apabila dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, atau putusan tersebut adalah suatu putusan provisionil, tidak dapat dilaksanakan. Berkas perkara yang bersangkutan, tidak dapat dilaksanakan. berkas perkara yang bersangkutan, beserta salinan resmi putusan tersebut serta surat-surat yang lain-lainnya, akan dikirimkan kepada pengadilan tinggi untuk diperiksa atau diputus lagi. Yang akan diperiksa adalah semua surat-suratnya, dengan lain perkataan berkasnya. Jarang sekali terjadi, bahwa orang yang bersangkutan, yaitu penggugat dan tergugat diperiksa lagi oleh pengadilan tinggi. Hal ini hanya dilakukan apabila pengadilan tinggi menganggap bahwa pemeriksaan belum sempurna dilakukan dan menjatuhkan putusan sela dengan maksud untuk memperlengkapi pemeriksaan tersebut sendiri.

B.     Identifikasi Masalah
       Pada umumnya seandainya dilakukan pemeriksaan tambahan putusan berdasarkan pengadilan tinggi,pemeriksaan tersebut dilakukan oleh pengadilan negeri yang bersangkutan.
       Hal itu dilakukan dengan maksud untuk menghemat waktu dan biaya, adalah amat sukar bagi pihak-pihak yang bersangkutan apabila harus menghadap pada persidangan pengadilan tinggi yang terletak diibu kota propinsi. Pengadilan tinggi dalam taraf banding akan meneliti apakah pemeriksaan perkara telah dilakukan menurut cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang dengan cukup teliti, selain itu akan diperiksa apakah putasan yang telah dijatuhkan  oleh hakim pertama sudah tepat dan benar, atau putusan itu adalah salah sama sekali kurang tepat. Dalam hal putusan telah dianggap benar, putusan pengadilan negeri akan dikuatkan. Apabila putusan tersebut dianggap salah, putusan akan dibatalkan dan pengadilan tinggi akan memberi peradilan sendiri, dengan lain perkataan, akan memberi putusan yang lain, yang berbeda dengan putusan pengadilan negeri. Adakalanya, bahwa putusan tersebut dianggap kurang tepat, sehingga putusan tersebut harus diperbaiki.
Maka dari itu, untuk lebih lanjut disini akan dijelaskan lebih lanjut tentang:
1.      Apa itu Banding?
2.      Apa dasar hukum tentang Banding?
3.      Bagaimana syarat dan tata cara Banding?



















BAB II
A.Pengertian Banding
Banding

       Salah satu upaya hukum yang biasa adalah banding. Lembaga banding diadakan dibuat oleh pembuat undang-undang, oleh karena dikhawatirkan bahwa hakim yang adalah manusia biasa, membuat kesakahan dalam menjatuhkan sesuatu putusan. Oleh karena itu, dibuka kemungkinan bagi orang yang dikalahkan untuk mengajukan permohonan banding kepada pengadilan tinggi.Upaya hukum banding diadakan oleh pembuat undang-undang,karena dikhawatirkan ada kesalahan dari hakim dalam menjatuhkan sebuah putusan,karena hakim juga manusia. Karena itu dibuka kemungkinan bagi orang yang dikalahkan untuk mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Tinggi.[1]
       Dengan diajukan permohonan banding, perkara menjadi mentah lagi. Putusan pengadilan negeri, kecuali apabila dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, atau putusan tersebut adalah suatu putusan provisionil, tidak dapat dilaksanakan. Berkas perkara yang bersangkutan, tidak dapat dilaksanakan. berkas perkara yang bersangkutan, beserta salinan resmi putusan tersebut serta surat-surat yang lain-lainnya, akan dikirimkan kepada pengadilan tinggi untuk diperiksa atau diputus lagi. Yang akan diperiksa adalah semua surat-suratnya, dengan lain perkataan berkasnya. Jarang sekali terjadi, bahwa orang yang bersangkutan, yaitu penggugat dan tergugat diperiksa lagi oleh pengadilan tinggi. Hal ini hanya dilakukan apabila pengadilan tinggi menganggap bahwa pemeriksaan belum sempurna dilakukan dan menjatuhkan putusan sela dengan maksud untuk memperlengkapi pemeriksaan tersebut sendiri.
       Pada umumnya seandainya pun dilakukan pemeriksaan tambahan putusan berdasarkan pengadilan tinggi,pemeriksaan tersebut dilakukan oleh pengadilan negeri yang bersangkutan.
       Hal itu dilakukan dengan maksud untuk menghemat waktu dan biaya, adalah amat sukar bagi pihak-pihak yang bersangkutan apabila harus menghadap pada persidangan pengadilan tinggi yang terletak diibu kota propinsi. Pengadilan tinggi dalam taraf banding akan meneliti apakah pemeriksaan perkara telah dilakukan menurut cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang dengan cukup teliti, selain itu akan diperiksa apakah putasan yang telah dijatuhkan  oleh hakim pertama sudah tepat dan benar, atau putusan itu adalah salah sama sekali kurang tepat. Dalam hal putusan telah dianggap benar, putusan pengadilan negeri akan dikuatkan. Apabila putusan tersebut dianggap salah, putusan akan dibatalkan dan pengadilan tinggi akan memberi peradilan sendiri, dengan lain perkataan, akan memberi putusan yang lain, yang berbeda dengan putusan pengadilan negeri. Adakalanya, bahwa putusan tersebut dianggap kurang tepat, sehingga putusan tersebut harus diperbaiki.
      Diatas telah disinggung, bahwa adakalanya, bahwa pemeriksaan perkara kurang lengkap, sehingga perlu diperbaiki, dalam hal itu berkas perkara akan dikirim kembali kepada pengadilan negeri yang bersangkutan untuk dilengkapi atau pengadilan tinggi akan melaksanakan pemeriksaan tambahan sendiri.
       Untuk memerintahkan hal itu akan dijatuhkan suatu putusan sela, yang dengan jelas memuat hal-hal yang dianggap kurang dan perlu ditambah pemeriksaannya.
Apabila salah satu pihak dalam suatu perkara perdata tidak menerima suatu putusan Pengadilan Negeri karena merasa hak-haknya terserang oleh adanya putusan itu atau menganggap putusan ini kurang benar dan kurang adil, maka ia dapat mengajukan permohonan banding. ia dapat mengajukan perkara yang telah diputuskan itu kepada pengadilan yang lebih tinggi untuk memintakan pemeriksaan ulang. Asas peradilan dalam dua tingkat itu bersandarkan pada keyakinan bahwa putusan pengadilan dalam tingkat pertama itu belum tentu tepat atau benar dan oleh karena itu perlu dimungkinkan pemeriksaan ulang oleh pengadilan yang lebih tinggi.[2]

B. Dasar Hukum Mengenai Banding
Perlu kiranya mendapat perhatian bahwa tentang hal banding dalam perkara perdata dan pidana berbeda peraturannya. aturan banding dalam perkara pidana semula diatur dalam pasal 350 sampai 356 HIR yang kemudian dicabut oleh S. 1932 no.460 jo. 580, sehingga hanya tinggal ketentuan yang diatur dalam Reglement op de strafvordering voor de raden van justitie op Java en het hooggerectshof van indonesia (ps. 282 dan seterusnya). Sekarang hal banding dalam perkara pidana diatur dalam KUHAP pasal 67,87,233-243 KUHAP.
            Bagi perkara perdata hal banding semula diatur dalam pasal 188 sampai dengan 194 HIR. tetapi dengan adanya pasal 3 jo. 5 Uudasar 1/1951 pasal-pasal tersebut sekarang tidak berlaku lagi. dan yang sekarang berlaku ialah UU. 20/1947 untuk Jawa dan Madura, sedang untuk daerah luar jawa dan madura ialah pasal 199 sampai dengan 205. kita lihat bahwa ketentuan mengenai banding masih pluralistis.
            Permohonan banding dapat di ajukan oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak. Hal itu berarti, bahwa pihak yang dikalahkan dengan putusan pengadilan dapat mengajukan permohonan banding. Dalam hal gugat dikabulkan, untuk sebagian (dan untuk bagian yang lain atau yang selebihnya di tolak), atau dalam hal telah diajukan gugat balasan, dan baik gugat asal, maupun gugat balik, duaduanya dikabulkan atau ditolak, maka kedua belah pihak dapat mengajukan permohonan banding, dengan lain perkataan permohonan banding yang diajukan oleh salah satu pihak, tidak menutup kemungkinan bagi pihak yang lain untuk mengajukan permohonan banding juga.
       Pasal 6 tersebut juga menyebutkan bahwa yang bisa mengajukan permohonan banding adalah pihak yang berkepentingan. Hal ini berarti, bahwa pihak yang dikalahkan yaitu yang gugatannya ditolak atau dikabulkan sebagaian atau yang gugatannya dinyatakan tidak dapat diterima, yang dpat mengajukan permohonan banding. Bagaimana apabila permohonan banding justru diajukan oleh pihak yang menang, serta permohonan banding dapat diterima? Misalnya dalam hal gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, lalu pihak tergugat dengan maksud untuk menutup, kemungkinan pengajuan gugat baru dalam waktu yang dekat, kemudian tergugat yang menang itu, dengan maksud yang buruk, mengajukan permohonan banding, apakah permohonan banding tersebut dapat diterima?
       Apabila ditinjau dari maksud pembuat undang-undang dengan mengadakan lembaga banding seperti dikemukakan diatas, permohonan banding semacam diatas, harus dinyatakan tidak dapat diterima, oleh karena itu diajukan oleh seorang yang tidak berkepentingan. Menurut penulis yang dimaksud dengan pihak yang berkepentingan adalah pihak yang oleh utusan pengadilan Negeri dikalahkan, dan bukan pihak yang dimenangkan, oleh karena itu permohonan banding yang diajukan oleh pihak yang menang dengan maksud untuk mengundur waktu atau dengan maksud jahat yang lain tidak dapat diterima dalam hal ini telah diajukan gugat balik, maka apabila baik gugat pasal maupun gugat balik dinyatakan tidak dapat diterima, maka oleh karena kedua belah pihak adalah pihak yang dikalahkan kedua belah pihak atau salah satu pihak dapat mengajukan permohonan banding. Perkataan diulangi menunjukkan bahwa perkara tersebut menjadi mentah kembali. Diatas telah dikemukakan, bahwa pemeriksaan perkara tidak diulangia dengan nyata, artinya pihak-pihak dan saksi-saksinya tidak diperiksa lagi, melainkan perkataan diulangi berartim bahwa pemeriksaan dilakukan dari mulai pengajuan gugat sampai putusan dijathkan, dengan lain perkataan semua surat-surat bukti, utusan Pengadilan Negeri dibaca dengan teliti lagi, semua segi pemeriksaan diulang, baik yang mengenai yang duduknya perkara (fakta), maupun yang mengenai penerapan hukumnya oleh seorang hakim tinggi sebagia hakim tunggal atau oleh suatu majelis hakim yang terdiri dari tiga orang hakim tinggi.
       Pemeriksaan banding dilakukan oleh pengadilan tinggi yang berkuasa dalam hukumnya masing-masing, dengan lain perkataan apabila suatu perkara diputuskan oleh pengadilan negeri di bandunng, maka pengadilan tinggi tidak dibandunglah yang berwenang untuk memeriksa dan memutuskan perkara tersebut bukan dipengadilan tinggi di medan. Pasal 7 undang-undang No.20 tahun 1947 memuat ketentuan, bahwa permohonan untuk pemeriksaan banding harus disampaikan dengan surat atau lisan kepada panitera pengadilan tinggi negeri yang menjatuhkan putusan itu.
       Hal itu berarti, bahwa permohonan banding dapat diajukan sendiri oleh pihak yang telah diberikan kuasa khusus untuk mengajukan permohonan banding. Kuasa tersebut sewaktu mengajukan permohonan banding, harus sudah memiliki surat kuasa khusus, dengan lain perkataan tanggal pemberian kuasa khusus itu lebih mudah dari tanggal pengajuan permohonan banding, setidak-tidaknya tanggalnya harus sama. Pengajuan permohonan banding, oleh kuasa berdasarkan surat kuasa umum, seandainya pun surat kuasa itu telah dibuat di hadapan seorang notaris, tidak dapat diterima oleh pengadilan tinggi. Bagi pengajuan permohonan banding oleh kuasa, surat kuasa khusus adalah suatu syarat mutlak. Apabila pihak yang berkepentingan itu telah lupa untuk memberikan surat kuasa khusus kepada kuasanya, atau dalam surat kuasa khusus tersebut terdapat kesalahan, maka permohonan banding dapat diterima, asalkan surat kuasa yang dipergunakan dipengadilan negeri, yang dalam praktek suka juga disebutkan surat kuasa dasar, mencakup, dengan lain perkataan memuat pemberian kuasa juga untuk mengajukan permohonan banding. Permohonan banding tersebut dapat diterima, oleh karena dianggap telah diajukan berdasarkan surat kuasa dasar itu. Dalam praktek suka pula dibuatkan kesalahan, yang tidak dapat dimaafkan, bahwa seorang kuasa yang telah diberikan kuasa dengan lisan dipersidangan pengadilan negeri  sewaktu perkara tersebut  diperiksa mengajukan permohonan banding lagi kleinnya, tanpa adanya surat kuasa khusus untuk mengajukan permohonan banding. Permohonana banding secara demikian itu tidak memiliki kekuasa untuk melakukan tindakan tersebut. Permohonan bandinng yang dapat diajukan oleh seorang kuasa yang telah diberi kuasa lisan dipersidangan, dapat diterima, apabila pada waktu pemberian kuasa dipersidangan itu dengan tegas-tegas. Disebut bahwa pemberian kuasa itu mencakup pemberian kuasa untuk mengajukan permohonan banding, hal mana harus dimuat dalam berita acara sidang yang dibuat oleh pengadilan negeri. Suka pula menjadi persoalan apabila surat kuasa dasar, ialah surat kuasa yang dipergunakan dipengadilan negeri, telah disubtitusikan, dilimpahkan kelain orang.[3] Oleh karena surat kuasa telah dilimpahkan keseluruhannya, kuasa yang pertama tidak memiliki hak lagi untuk mewakili pemberian  kuasa, dan permohonan banding diajukan oleh yang bersangkutan, karena diajukan oleh seorang yang tidak mempunyai wewenang lagi untuk melakukan tindakan tersebut, harus dinyatakan tidak dapat diterima.  
       Dapat juga surat kuasa dilimpahkan untuk sebagian, misalnya khusus untuk mewakili yang bersangkutan untuk siding pada hari atau tanggal sekian. Dalam hal semacam itu, maka oleh karena pemberian kuasa yang selainnya telah tidak dilimpahkan, maka kuasa yang semula tetap berhak untuk mengajukan permohonan banding, asalkan syarat-syarat lain sebagaimana disebut diatas terpenuhi. Oleh karena banyak kesalahan terjadi dalam praktek, juga menyangkut permohonan bandung oleh orang-orang yang berpengalaman, sebaliknya permohonan banding diajukan sendiri oleh pihak yang berkepentingan.
       Permohonan banding supaya dapat diterima diajukan dalam tenggang waktu yang ditentukan. Pasal 7 (1) dan (2) undang-undang No.20 tahun 1947, menyatakan bahwa permohonan banding harus diajukan tenggang waktu 14 hari dihitung mulai berikutnya dari pengumuman putusan kepada yang berkepentingan. Bagi pemohon banding yang tidak berdiam dalam keresiden tempat pengadilan negeri tersebut bersidang, waktu itu dijadikan 30 hari.
       Pada dewasa ini, setelah undang-undang No.14 tahun 1985 tentang mahkamah agung yang berlaku dalam pasal 46 menentukan, bahwa permohonan kasasi dalam perkara perdata harus disampaikan secara tertulis atau secara lisan melalui panitera pengadilan tingkat pertama yang telah memutuskan perkaranya, dalam tenggang waktu 14 hari sesudah putusan atau penetapan pengadilan yang dimaksud diberitahukan kepada pemohon, yang berlaku untuk seluruh pelosok tanah air dan menggantikan undang-undang mahkamah agung No. 1 tahun 1950, yang dalam pasal 113 (1) menyatakan, bahwa pemohonan kasasi untuk jawa dan Madura harus diajukan dalam tempo 3 minggu sedang diluar jawa dan Madura dalam tempo 6 minggu yang sekarang sudah tidak berlaku lagi. Patut dipertanyakan tenggang waktu mengajukan permohonan banding, dalam praktek masih dibedakan antara pemohon yang berdiam di dalam dan di luar keresidenan, seperti yang diatur dalam pasal 7 undang-undang No.20 tahun 1947 itu. Dapatlah dikemukan, bahwa dalam praktek, justru oleh karena kata keresidenan atau residen, kini sudah tidak dikenal lagi, pula oleh karena menurut pasal 46 undang-undang mahkamah agung No.14 tahun 1985 bahwa permohonan kasasi untuk seluruh indonesia harus diajukan dalam tenggang waktu 14 hari sesudah putusan atau penetapan pengadilan yang dimaksud diberitahukan, maka meskipun pasal 7 undang-undang No.20 tahun 1947 belum pernah dicabut namun dalam praktek semua permohonan banding harus diajukan dalam tenggang waktu 14 hari terhitung sesudah putusan pengadilan negeri tersebut diberitahukan kepada yang berkepentingan. Hal itu, oleh karena setelah keresidenan tidak lagi dikenal, maka pasal 7 (2) undang-undang No. 20 tahun 1947 juga tidak bisa diterapkan lagi.
       Sebenarnya masih patut dipermasalahkan mengenai perbedaan redaksi yang terdapat dalam pasal 7 (1) undang-undang No. 20 tahun 1947 dan yang terdapat dalam pasal 46 undang-undang No. 14 tahun 1985. Pasal 1 (1) undang-undang No.20 tahun 1947 menyebutkan’’ 14 hari terhitung mulai berikut hari pengumuman putusan……….’’, sedangkan pasal 46 undang-undang nahkamah agung No.14 tahun 1985 menyebutkan ‘’14 hari sesudah putusan diberitahukan’’. Bukankah apa yang disebutkan dalam kedua pasal itu berbeda 1 hari? Dalam praktek yang berlaku adalah rumusan yang terdapat dalam pasal 46 undang-undang mahkamah agung No. 14 tahun 1985, dan hal itu tidak menimbulkan masalah. Jadi, apabila putusan diberitahukan (atau diumumkan/ dijatuhkan dengan dihadiri oleh pihak yang bersangkutan) pada hari senin,misalnya tanggal 1 februari 1978, maka permohonan banding paling lambat harus diajukan pada hari senin, tanggal 15 februari 1978.
       Dalam hal pemohon banding atau kuasanya tidak hadir pada waktu putusan diucapkan, maka tenggang waktu tersebut dihitung  sejak hari berikutnya putusan tersebut diberitahukan kepada yang bersangkutan. pemberitahuan putusan ini biasanya dilakukan kepada yang bersangkutan dirumah atau apabila tidak bertemu pemberitahuan dilakukan melalui lurah setempat dan dalam hal tempat tinggal dan tempat tinggal dan tempat kediaman dari yang bersangkuatan tidak diketahui, pemberitahuan keputusan dilakukan dengan cara penempelan dictum putusan tersebut pada papan pengumuman yang untuk itu disediakan dikantor kabupaten, juga kadang-kadang pemberitahuan putusan tersebut dilakukan  melalui surat kabar.[4]

       C.Syarat dan Tata Cara Banding
Syarat untuk dapat dimintakan banding bagi perkara yang telah diputus oleh pengadilan dapat dilihat dalam Pasal 6 UU No. 20/1947 yang menerangkan,apabila besarnya nilai gugat dari perkara yang telah diputus itu lebih dari Rp.100 atau kurang, oleh salah satu pihak dari pihak-pihak yang berkepentingan dapat diminta supaya pemeriksaan itu diullangi oleh pengadilan tinggi yang berkuasa dalam daerah hukum masing-masing.
       R. Subekti lebih rinci mengusulkan, hanya perkara yang nilai gugatannya berjumlah Rp.100.000(seratus ribu) atau lebih yang boleh dimintakan banding,alasannya untuk mempercepat tercapainya putusan yang berkekuatan hukum yang tepat.(R. Subekti,1982 :152) .
Sampai saat ini tidak ada batasan nilai gugatan jika pihak-pihak berperkara yang ingin mengajukan banding,karena dalam UU No.5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama tidak ditemukan batasan nilai gugatan. [5]











BAB III
Analisis
       Dengan diajukan permohonan banding, perkara menjadi mentah lagi. Putusan pengadilan negeri, kecuali apabila dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, atau putusan tersebut adalah suatu putusan provisionil, tidak dapat dilaksanakan. Berkas perkara yang bersangkutan, tidak dapat dilaksanakan. berkas perkara yang bersangkutan, beserta salinan resmi putusan tersebut serta surat-surat yang lain-lainnya, akan dikirimkan kepada pengadilan tinggi untuk diperiksa atau diputus lagi. Yang akan diperiksa adalah semua surat-suratnya, dengan lain perkataan berkasnya. Jarang sekali terjadi, bahwa orang yang bersangkutan, yaitu penggugat dan tergugat diperiksa lagi oleh pengadilan tinggi. Hal ini hanya dilakukan apabila pengadilan tinggi menganggap bahwa pemeriksaan belum sempurna dilakukan dan menjatuhkan putusan sela dengan maksud untuk memperlengkapi pemeriksaan tersebut.

















BAB IV
Kesimpulan
Seperti yang telah dijelaskan, upaya hukum biasa adalah banding.yang diajukan apabila pihak-pihak yang berperkara tidak puas terhadap putusan pengadilan tingkat pertama.
Upaya hukum banding diadakan oleh pembuat undang-undang,karena dikhawatirkan bahwa hakim adalah manusia biasa,yang mungkin dirasa dapat membuat kesalahan dalam membuat suatu putusan,maka diadakanlah banding.









































[1] Pokok-pokok Hukum Acara Perdata. Prof.Moh.Taufik Makarao.hal 164
[2] ibid
[3] ibid
[4]  Hukum Acara Perdata di Indonesia . Prof.Dr.R Supomo,ibid
[5] Pokok-pokok Hukum Acara Perdata. Prof.Moh.Taufik Makarao.hal 165















Daftar pustaka
Prof.Moh.Taufik Makarao Pokok-pokok Hukum Acara Perdata
Prof.Dr.R Supomo: Hukum Acara Perdata di Indonesia, Penerbit  Fascojakarta,1958
Prof.R Subekti, S.H: hukum acara perdata, Badan Pembinaan Hukum Nasional       (BPHN), Penerbit Bina Cipta
Prof.dr. Sudikno mertokusumo, SH. Hukum Perdata Indonesia, Liberty Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar