Sabtu, 24 Desember 2011

hukum adat waris

HUKUM ADATA WARIS

MAKALAH INI DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS TERSTRUKTUR
MATA KULIAH HUKUM ADAT



uin.png



















Kelompok 3

RUBBANI
SHAHIDIN
YUYUN WIDARA

     



      ILMU HUKUM “C”

SEMESTER III













FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Mewaris memegang peranan yang penting dalam kehidupan manusia, sebab mewaris pada jaman Arab jahiliyah sebelum islam datang membagi harta warisan kepada orang laki-laki dewasa sedangkan kaum perempuan dan anak-anak yang belum dewasa tidak mendapatkan bagian.
Pada saat Agama Islam masuk dengan turunnya Surat An-Nisa’ayat 11:
Artinya:
“Tentang orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Seseungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.”(QS. An-nisa’:11)
Dapat dikembangkan bahwa orang yang memiliki pertalian darah, perkawinan yang sah baik itu suami/istri, anak laki-laki maupun perempuan bisa mendapatkan warisan. Hal ini yang menimbulkan permasalahan dimana kebanyak orang memiliki anak laki untuk mendapatkan warisan seperti jaman jahiliyah sebelum masuknya islam. Hal ini diakibatkan kurangnya pengetahuan mengenai mewarisi.
Oleh karena itu kita harus mengerti dan paham masalah waris mewarisi, hak waris dan lain-lain agar dapat kita terapkan di dalam keluarga.






















Sebelum kita melangkah lebih jauh mengenai hukum adat waris, maka sebaiknya kita mengenal dahulu apa pengertian dari hukum adat waris atau hukum adat kewarisan, jika kita bicara mengenai kewarisan sudah barang tentu kata kuncinya disini adalah ada orang yang meninggal dunia sebagai pewaris, ada harta warisan / harta peninggalan, dan ada ahli waris atau waris.
Pewaris adalah orang yang meninggal dunia dan akan menyerahkan harta warisan atau harta peninggalan kepada ahli waris / waris baik berupa harta budel / harta pusaka baik melalui pernyataan-pernyataan yang dituangkan dalam surat wasiat / testamen maupun secara lisan. harta peninggalan disini tidak hanya berupa harta benda, seperti uang dan barang maupun utang piutang atau yang bagi dalam harta yang berwujud dan harta yang tak berwujud.
Warisan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris kepada ahli waris / waris baik yang dituangkan melalui surat wasiat / testamen yang memuat pernyataan-pernyataan dari pewaris tentang bagaimana cara meneruskan, pengurus, mengolah,  harta peninggalan / harta warisan sehingga tetap terjaga dan tidak jatuh ketangan orang yang tidak berhak.
Ahli waris adalah orang yang menerima harta warisan atau harta peninggalan dari pewaris.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hukum adat waris adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang bagaimana harta peninggalan / harta warisan dapat diteruskan kepada waris dari suatu generasi kegenerasi berikutnya.
hukum adat waris disini dapat dibagi atas tiga bagian yakni :
hukum adat ketatanegaraan, yakni hukum adat yang mengatur tentang tata cara susunan masyarakat adat, bentuk-bentuk masyarakat / persekutuan hukum adat, alat-alat perlengkapan desa, susunan jabatan dan juga majelis kerapatan desa dan harta kekayaan desa.
Hukum adat kewargaan.
Hukum adat delik.
Dalam hal kewarisan juga sangat erat kaitannya dengan perkawinan, jenis perkawinan adat disini dapat ditandai dengan pemberian uang jujur oleh pihak laki-laki kepada perempuan dengan tujuan sebagai pengganti pelepasan pihak perempuan kepada pihak laki-laki. Dimana uang jujur merupakan kewajiban adat ketika dilakukan pelamaran, berbeda dengan mas kawin yang merupakan kewajiban agama saat dilakukan pernikahan.
jika kita berbicara mengenai Hukum adat waris dapat meliputi beberapa pokok pembahasan yakni :
  • sistem kewarisan
  • harta warisan
  • pewaris dan waris
  • pewarisan




Sistem Kewarisan dalam hukum adat waris dapat dibagi lagi menjadi tiga yaitu :
Sistem Kolektif yaitu harta peninggalan tidak dibagi-bagi kepada ahli waris tetapi semua dapat menikmati hasilnya yang merupakan harta budel / harta pustaka dimana semua para waris dapat menikmati namun pengurusnya ditunjuk satu orang dan tidak ada yang boleh memiliki secara pribadi.
Sistem mayorat yaitu harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi diserahkan kepada anak tertua untuk mengolah dan memberikan hasil-hasilnya kepada waris lainnya, misalnya kepada adik-adiknya.
Sistem individual yaitu harta warisan dapat dibagi-bagi kepada para waris dan dapat menjadi hak milik pribadi sehingga dapat melakukan transaksi apapun terhadap harta warisan tersebut, sistem individual ini terdapat dalam BW atau hukum perdata dan KHI (kompilasi hukum islam).
Dalam hal perekonomian juga dikenal istilah Hukum adat perekonomian yakni aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang bagaimana hubungan-hubungan hukum yang berlaku dalam masyarakat dikalangan rakyat jelata terutama di pedesaan dalam usaha mereka memenuhi kebutuhan hidup dalam perekonomiannya.
Di Indonesia ada tiga sistim hukum yang mengatur masalah pewarisan, yaitu hukum islam, hukum barat dan hukum adat. Masing-masing sistim hukum tersebut mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri. Hukum waris adat mempunyai corak dan sifat-sifat yang khas bangsa Indonesia, sebagaimana yang dinyatakan oleh Hilman Hadikusuma :
Hukum waris adat itu mempunyai corak dan sifat-sifat yang khas Indonesia, yang berbeda dari hukum islam maupun hukum barat. Sebab perbedaannya terletak dari latar belakang alam pikiran bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dengan masyarakat yang bhineka tunggal ika. Latar belakang itu pada dasarnya adalah kehidupan bersama yang bersifat tolong-menolong guna mewujudkan dan kedamaian di dalam hidup. ( Hilman Hadikusumah, 1983 : hlm.19)
Selain itu hukum waris adat merupakan suatu peraturan yang mengatur masalah pewarisan adat. Sebagaimana dinyatakan oleh Soepomo. Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak terwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya.( R.Soepomo, 1980 : hlm.81-82 ).
Hukum waris tidak saja terdapat dalam hukum adat, tetapi juga terdapat dalam hukum islam dan hukum barat. Hal ini bukan saja akibat adanya pembagian dalam pasal 163 dan pasal 131 I.S., tetapi kenyataannya sekarang masih terasa dan terdapat pembagian itu.
            Untuk membedakan hukum waris dalam satu sistim hukum dengan hukum waris dalam sistim hukum lainnya, maka dalam hal ini digunakan istilah hukum waris adat. Istilah waris belum ada kesatuan arti, baik yang ditemui dalam kamus hukum maupun sumber lainnya. Istilah waris ada yang mengartikan dengan “harta peninggalan, pusaka atau hutang piutang yang ditinggalkan oleh seorang yang meninggal dunia seluruh atau sebagian menjadi hak para ahli waris atau orang yang ditetapkan dalam surat wasiat”. Selain itu ada yang mengartikan waris “yang berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal”.
Nampak ada perbedaan, disatu pihak mengartikan istilah waris dengan harta peninggalan dan dipihak lain mengartikan dengan orang yang berhak menerima harta peninggalan tersebut. Adanya perbedaan pendapat ini menunjukkan belum adanya keseragaman dalam bahasa hukum kita.
Untuk mendapatkan suatu pengertian yang jelas perlu adanya kesatuan pendapat tentang suatu istilah tersebut. Untuk mencapai itu, usaha yang dilakukan adalah menelusuri secara etimologi.
Istilah waris berasal dari bahasa Arab yang diambil alih menjadi bahasa Indonesia, yaitu berasal dari kata “warisa” artinya mempusakai harta, “waris artinya ahli waris, waris”. Waris menunjukkan orang yang menerima atau mempusakai harta dari orang yang telah meninggal dunia. Hal ini juga dapat dilihat dari “Sabda Nabi Muhammad SAW. : Ana warisu manla warisalahu artinya saya menjadi waris orang yang tidak mempunyai ahli waris (H.R Ahmad dan Abu Daud)”.
Dalam hukum adat istilah waris lebih luas artinya dari arti asalnya, sebab terjadinya waris tidak saja setelah adanya yang meninggal dunia tetapi selagi masih hidupnya orang yang akan meninggalkan hartanya dapat mewariskan kepada warisnya.
Hukum waris adat atau ada yang menyebutnya dengan hukum adat waris adalah hukum adat yang pada pokoknya mengatur tentang orang yang meninggalkan harta atau memberikan hartanya (Pewaris), harta waris (Warisan), waris (Ahli waris dan bukan ahli waris) serta pengoperan dan penerusan harta waris dari pewaris kepada warisnya.
Untuk mengetahui secara mendalam, berikut ini kemukakan pendapat dari para ahli hukum adat, seperti Ter Haar, Soepomo, Iman Sudiyat, Soerojo Wignyodipoero dan Hilman Hadikusuma.

Menurut Ter Haar BZN :
Hukum waris adat itu meliputi aturan-aturan hukum yang bertalian dengan proses dari abad ke abad yang menarik perhatian, ialah proses penerusan dan peralihan kekayaan material dan immateriel dari turunan keturunannya.

Menurut Soepomo :
Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang yang tidak terwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya.

Menurut Soerojo Wignyodipoero :
Hukum adat waris meliputi norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik yang materiil yang manakah dari seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya serta sekaligus juga mengatur saat, cara dan proses peralihannya.( Soerojo Wignyodpoero, 1985 : 161)

Menurut Iman Sudiyat :
Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses penerus / pengoperan dan peralihan /perpindahan harta kekayaan materiil dan immateriil dari generasi ke generasi.


Menurut Hilman Hadikusuma :
Hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistim dan azas-azas hukum waris tentang warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada waris.
Dari beberapa pendapat di atas terdapat suatu kesamaan bahwa, hukum waris adat yang mengatur penerusan dan pengoperan harta waris dari suatu generasi keturunannya. Hal ini menunjukkan dalam hukum adat untuk terjadinya pewarisan haruslah memenuhi 4 unsur pokok, yaitu :
·         adanya Pewaris;
·         adanya Harta Waris;
·         adanya ahli Waris; dan
·         Penerusan dan Pengoperan harta waris.
























DAFTAR PUSTAKA
Djaren Saragih S.H., Pengantar Hukum Adat Indonesia, TRASITO Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar