Sabtu, 24 Desember 2011

LEMBAGA-LEMBAGA KEKUASAAN NEGARA DENGAN ISLAM

LEMBAGA-LEMBAGA KEKUASAAN NEGARA
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur pada mata kuliah
Hukum Tata Negara Islam
dari dosen : Dr.Widyawati,M.HI.

Di susun oleh:
Rubbani (1209305076)
Tedy Herdiana (12093050)

ILMU HUKUM C
SEMESTER V

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN
GUNUNG DJATI
 BANDUNG
2011

Kata Pengantar

Bismillahhirohmannirohim
                Segala puji bagi Allah SWT. Zat yang telah menciptakan kaidah yang memberi tuntunan bagi manusia. Karena berkat rahmat dan hidayah-NYA kami dapat menyelesaikan makalah Hukum Lingkungan yang berjudul “MENUMBUHKAN KESADARAN HUKUM LINGKUNGAN HIDUP DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH OTONOM
                Kami mengucapkan banyak terima kasih pada semuah pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini sehingga, makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Sebagai langkah awal, makalah ini masih jauh dari kesempurnaan karena masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan  didalamnya. Oleh karena itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi mencapai kesempurnaan makalah ini.
                Semoga makalah ini bermanfaat dan dapat memberikan informasi bagi mahasiswa hususnya dan masyarakat umumnya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.



   Bandung,  November 2011,



                                                                                                                                   Penulis










DAFTAR ISI

Kata Pengantar..................................................................................................................... i
Daftar Isi.............................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang Masalah.......................................................................................... 1
  2. Identifikasi Masalah................................................................................................ 5

BAB II PEMBAHASAN
  1. Kesadaran Manusia Terhadap Hukum Lingkungan.................................................6
  2. Pembangunan Nasional dan Pembangunan Berkelanjutan..........................................7
  3. Kebijakan Pengelolaam Lingkungan Hidup Dalam Otonomi Daerah............................ 11
  4. Potret Lingkungan Hidup di Daerah....................................………………………………..13

BAB III KESIMPULAN.................................................................................. …………………….17
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... .18

           

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
         Sebenarnya prinsip pembagian kekuasaan dalam islam lebih tepat di diskusikan secara terpisah dalam kerangka konsep Negara Islam. Karena pembahasanya lebih erat dengan Sistem pemerintahan Negara Islam. Dan itu membutuhkan sejarah dan penelitian yang cukup panjang mengenai bentuk Negara Islam. Akan tetapi di sini akan di singgung sedikit pembagian kekuasaan dalam Islam sebagai pengetahuan apakah ada pemisahan atau pembagian kekuasaan dalam islam? Apakah sama atau sejalan dengan pembagian kekuasaan modern milik Montesquieu dan yang di pakai oleh Negara zaman sekarang?
            Di dalam sistem kekuasaan Islam menurut beberapa ahli juga terdapat pembagian kekuasaan seperti teori Trias Politica menurut fungsinya karena berdasarkan konstitusi negara Islam dijelaskan pada surat An-Nisa ayat 58-59 : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya).[1]
           Ada banyak penafsiran dari beberapa tokoh Muslim tentang substansi dari ayat tersebut. Menurut Muhammad Rasyid Ridha ayat tersebut menyatakan bahwa terdapat kaidah-kaidah pemerintahan Islam. Sementara itu, menurut Sayyid Qutbh ayat ini menjelaskan kaidah-kaidah asasi tentang organisasi umat Islam (negara), kaidah-kaidah hukum dan dasar-dasar mengenai kekuasaan negara.Sedangkan Maulana Muhammad Ali menyatakan bahwa ayat ini menggariskan tiga aturan penting tentang hal-hal yang berhubungan dengan kesejahtraan umat Islam, terutama yang bertalian dengan pemerintahan. Dari ketiga penafsiran tokoh tersebut kita dapat menarik kesimpulan tentang dasar-dasar kaidah kekuasaan dan pemerintahan dalam Islam yang berlandaskan Al-Qur’an dengan dijalankan lewat ulil amri.
             Di dalam ayat tersebut terdapat kata ulil amri, yang memiliki banyak arti, diantaranya adalah ahlul halli wal aqdi (kelompok yang ahli dalam mengambil keputusan dan memberikan pertimbangan yang sehat demi kepentingan umum). Ulil amri juga dapat berarti pemerintahan dengan raja/khalifah/imam/amir sebagai kepala pemerintahan. Namun, ulil amri juga dapat berarti sekelompok orang yang bertugas menjalankan dan menjatuhkan hukum. Kita dapat menyimpulkan dari arti ulil amri menjadi sekelompok orang yang menjalankan pemerintahan dari segi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Eksekutif termuat di dalam pengertian ulil amri sebagai raja/khalifah/imam/amir yang memimpin pemerintahan. Kekuasaan legislatif termuat di dalam pengertian ulil amri sebagai ahlul halli wal aqdi suatu kelompok yang ahli dalam mengambil keputusan dan memberikan pertimbangan yang sehat demi kepentingan umum. Sedangkan, untuk kekuasaan yudikatif termuat dalam pengertian ulil amri sebagai sekelompok orang yang bertugas dan menjalankan hukum.
          Dalam sebuah praktek ketatanegaraan tidak jarang terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan, sehingga terjadi pengelolaan sistem pemerintahan yang dilakukan secara absolut atau otoriter, sebut saja misalnya seperti dalam bentuk monarki dimana kekuasaan berada ditangan seorang raja. Apalagi jika kekuasaan itu di warnai dengan paham teokrasi yang menggunakan prinsip kedaulatan Tuhan, maka kekuasaan Raja semakin absolute dan tak terbantahkan sebagaimana yang telah tergoreskan dalam sejarah peradaban Mesir, Yunani dan Romawi kuno, peradaban China, India, hingga peradaban Eropa. Maka untuk menghindari hal tersebut perlu adanya pembagian/pemisahan kekuasaan, sehingga terjadi kontrol dan keseimbangan diantara lembaga pemegang kekuasaan. Selanjutnya kita akan membahas apakah maksud dari prinsip ini? Bagaimana perkembangannya? Serta bagaimana praktek penerapannya dalam suatu negara? Begitu juga adakah pembagian kekuasaan dalam Islam dan seperti apakah?





1.2  Identifikasi Masalah
1.      Apa saja pembagian kekuasaan (Lembaga Negara) dalam  konsep Islam menurut para ulama ?
2.      Apa perbedaan lembaga legislatif  (pembuat undang-undang ) dalam konsep islam dengan konsep tata negara barat?

























BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pembagian Lembaga Kekuasaan Negara Pada masa Khulafaurrasidin
           Implementasi pembagian kekuasaan ini dapat kita lihat pada masa khulafaur rasyidin. Pada masa itu kekuasaan eksekutif dipegang oleh seorang khalifah, kekuasaan legislatif dipegang oleh Majelis Syuro, dan kekuasaan yudikatif dipegang oleh Qadhi atau hakim. Pada masa Khulafaur Rasyidin, khalifah (eksekutif) pertama dalam negara Islam adalah Abu Bakar. Sedangkan Majelis Syuro (legislatif) berisi tokoh-tokoh kaum Anshar dan Muhajirin.
         Kemudian, pada masa khalifah kedua, yaitu Umar Bin Khattab pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif diperinci lewat undang-undang. Pada masa ini juga, Umar Bin Khattab membuat suatu undang-undang yang memisahkan antara kekuasaan eksekutif dengan yudikatif, dengan tujuan para qadhi sebagai pemegang kekuasaan yudikatif dalam memutuskan perkara harus bebas dari pengaruh eksekutif.[2]
         Dengan demikian, sebenarnya, antara sistem pembagian kekuasaan Islam dengan sistem pembagian kekuasaan barat modern tidak ada perbedaan fundamental, hanya istilah penyebutannya dan cara kerjanyanya saja yang berbeda. Seperti yang telah disinggung diawal makalah ini tentang sistem berpikir politik barat yang antroposentrik dan Islam yang Teosentrik Pun begitu dengan sistem pembagian kekuasaan di Indonesia, tidak ada perbedaan yang fundamental dengan sistem pembagian kekuasaan Islam yang menempatkan presiden (khalifah) sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, DPR (Majelis Syuro) sebagai pemegang kekuasaan legislatif, dan MA (Qadhi) sebagai pemegang kekuasaan yudikatif. Jadi, sebelum konsep trias politica lahir, Islam telah mengenal konsep tentang pembagian kekuasaan beratus-ratus tahun sebelumnya.



2.      Pembagian Kekuasaan Menurut Para Ulama
A.    Abdul Wahab Khallaf
           Membaginya menjadi tiga bagian, yaitu:
1.Lembaga legislatif (sultah tasyri’iyah), lembaga ini adalah lembaga negara
yang menjalankan kekuasaan untuk membuat undang-undang.
2. Lembaga eksekutif (sultah tanfiziyyah), lembaga ini adalah lembaga negara
yang berfungsi menjalankan undang-undang.
3. Lembaga yudikatif (sultah Qada’iyyah), lembaga ini adalah lembaga negara
yang menjalankan kekuasaan kehakiman.[3]

2.Abdul Kadir Audah
kekuasaan dalam negara Islam itu dibagi ke dalam lima bidang, artinya ada lima kekuasaan dalam Negara Islam, yaitu:
1. Sultah Tanfiz}iyyah (kekuasaan penyelenggara undang-undang).
2. Sultah Tashri’iyah (kekuasaan pembuat undang-undang).
3. Sultah Qadhoiyah (kekuasaan kehakiman).
4. Sultah Maliyah (kekuasaan keuangan).
5. Sultah Muraqabah wa Taqwim (kekuasaan pengawasan masyarakat).[4]
                Kekuasaan berada di tangan empat pihak, yaitu Khalifah, Mu’awin Tafwidl, Wali dan Amil. Selain mereka, tidak dianggap sebagai penguasa, melainkan hanya pegawai pemerintah.
                khususnya yang berkaitan dengan perbedaan kekuasaan (al hukm, as sulthan) dengan administrasi (al idarah). Penguasa  (al haakim) adalah orang yang menjalankan kekuasaan atau pemerintahan (munaffidzul hukm), yang berwenang untuk menerapkan peraturan dan undang-undang atas rakyat. Dalam struktur negara Khilafah, mereka yang memiliki kewenangan ini adalah empat pihak, yaitu Khalifah, Mu’awin Tafwidl, Wali dan Amil. Selain mereka, tidak termasuk penguasa tetapI termasuk pegawai pemerintah (al muwazhzhaf) yang tugasnya berkaitan dengan administrasi, bukan kekuasaan. Administrasi (al idarah) merupakan kumpulan cara yang bersifat teknis (uslub) atau sarana fisik (wasilah) untuk melaksanakan suatu aktivitas tertentu.[5]

3.      Lembaga Yudikatif/Kekuasaan Kehakiman (sultah Qada’iyyah)
          Adapun mengenai pentingnya kekuasaan kehakiman adalah untuk
menyelesaikan perkara-perkara perbantahan dan permusuhan, pidana dan
penganiayaan, mengambil hak dari orang durjana dan mengembalikannya kepada
yang punya melindungi orang yang kehilangan hak-haknya, mengawasi harta
wakaf dan lain-lain.
           Tujuan pengadilan dalam Islam bukanlah untuk mengorek kesalahan agar
dapat dihukum, tetapi yang menjadi tujuan pokok yaitu menegakkan kebenaran
supaya yang benar dinyatakan benar dan yang salah dinyatakan salah.
Lembaga peradilan menurut para ulama fikih merupakan lembaga
independen yang tidak membedakan pihak-pihak yang bersengketa di hadapan
majlis hakim. Lembaga peradilan merupakan salah satu lembaga yang tidak terpisahkan dari tugas-tugas pemerintahan umum (al-wilayah al-‘ammah).
            Keberadaan suatu lembaga peradilan (al-Qada’) memiliki landasan yang
kuat dalam Islam. Dasar disyariatkannya lembaga peradilan/ al-Qada’ salah satunya dalam
Islam adalah firman Allah dalam surat Shaad ayat 26:
“ Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di
muka bumi, Maka berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari
jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan
mendapat azab yang berat, Karena mereka melupakan hari perhitungan”.
           Atas dasar ayat-ayat dan hadis di atas, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa mengadakan dan menjalankan lembaga al-Qada’ itu hukumnya wajib kifayah (kewajiban kolektif umat Islam).
            Eksistensi lembaga peradilan Islam didukung dengan akal. Sebab, ia
harus ada untuk melindungi kepentingan-kepentingan orang yang teraniaya dan
untuk menghilangkan berbagai sengketa yang timbul dalam masyarakat.
            Dalam sejarah pemerintahan Islam, orang yang pertama kali menjabat
hakim di Negara Islam adalah Rasulullah SAW, dan beliau menjalankan fungsi
tersebut selaras dengan hukum Tuhan.
             Lembaga peradilan pada masa khulafa al-Rasyidin juga mengikuti prinsip
peradilan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Baru pada zaman
kekhalifahan bani Abbasiyah, dibentuk dewan Madzalim/ Wilayah al-Mazalim
(dewan pemeriksa pelanggaran) dan selanjutnya dibentuk dewan hisbah
(kekuasaan al-Muhtasib).

4.      Kekuasaan Eksekutif (Sulthah Tanfidziyyah)
Konsep Imamah/Imam, Khilafah/Khalifah, Imarah/Amir, Wizarah/Waazir
             Lembaga kepala Negara dan pemerintahan atau kekuasaan eksekutif diadakan sebagai pengganti fungsi kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia. Pengangkatan Negara menurut umat islam adalah wajib menurut ijma’. akan tetapi dasar kewajiban itu diperselisihkan, apakah berdasarkan rasio atau syariat?
           Kemudian salah satu diskursus penting yang tidak pernah kering diperbincangkan banyak ulama adalah: bagaimana bentuk pemerintahan dalam Islam? Jawaban dari pertanyaan ini tidaklah tunggal. Masing-masing pihak memiliki argumentasi dan pendapat berbeda-beda. Ini menunjukkan betapa kaya dan beragam khazanah keilmuan yang dimiliki dunia Islam.
Di antara banyak ulama yang mencoba memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut adalah Taqiyuddin Ibnu Taymiyah (1263-1328) dalam risalahnya “al-Siyasah al-Syariyyah” (pemerintahan syariat). Dalam kitabnya ini, Ibnu Taymiyah menegaskan bahwa tujuan kekuasaan adalah memperbaiki agama manusia dan mengatur urusan dunia yang tanpanya agama tidak sempurna. Bahkan, lanjut Ibnu Taymiyah, agama tidak akan tegak tanpa kekuasaan. Membangun dan mendirikan kekuasaan adalah kewajban agama yang paling luhur. Tujuannya mengantarkan manusia pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Agama dan negara, kata Ibnu Taymiyah, ibarat sekeping uang logam yang sisi-sisinya saling melengkapi. “Qawwamu al-din bi al-saef wa al-mushaf,” tegas Ibnu Taymiyah. Maksudnya, agama tidak akan bisa tegak kecuali dengan mushaf (al-Quran dan al-Hadits) dan pedang (kekuasaan). Dari sini bisa dipahami bahwa kekuasaan (negara) dalam pandangan Ibnu Taymiyah semacam alat/eksekutor untuk memuluskan kepentingan dan tujuam agama, mulai dari persoalan-persoalan privat, seperti salat, haji, zakat, dsb, hingga urusan publik, seperti hudud, pajak, hingga menyangkut pertahanan dan keamanan negara (Jihad).
             Ibnu Taymiyah masih belum mengenal pembagian kekuasaan dalam negara, seperti yang ditawarkan Jhon Locke dan Montesque yang membagi kekuasaan ke dalam tiga bagian: legislatif (al-sulthah al-tasyri’iyyah), eksekutif (al-Sulthah al-tanfidziyyah), dan yudikatif (al-sulthah al-qadlaiyyah). model pembagian kekuasaan dimaksudkan untuk menghindari terpusatnya kekuasaan hanya pada satu orang (penguasa otoriter). Ia hanya mengenal seorang pemimpin yang memiliki otoritas tunggal, seperti yang terjadi pada masanya.
Konsep Imamah/Imam
             Konsep Imamah bermula dari kata umat, jamaknya umam yang artinya umat, rakyat atau bangsa. Dalam bahasa inggrisnya disebut nation, people. Dalam kamus Munawwir, ia bermakna; imam atau pemimpin. Dari akar kata itulah muncul perkataan imamah.
Makna Imam berarti pemimpin atau orang yang di depan. Kata "imam" dalam bahasa Arab tidak menunjukkan arti kesucian hidup. Dan imam adalah orang yang punya pengikut, tak soal dengan fakta apakah dia saleh atau tidak. Al-Qur'an sendiri menggunakan kata ini dalam kedua arti itu.
            Imamah adalah doktrin Syi’ah Islam tentang kepemimpinan politik dan spiritual dalam khilafah yang harus dipegang oleh salah seorang imam dari keturunan Sayyidina Ali. Setelah Nabi Muhammad meninggal, siapakah yang seharusnya memegang kepemimpinan khilafah? Keluarga Nabi menghendaki dari keluarganya yakni Ali bin Abi Thalib. Namun di saat mereka sibuk mengurus jenazah Nabi, Abu Bakar sudah dibai’at menjadi khalifah, sehingga mereka tidak sempat mengikuti pembai’atan itu.
             Kerana itu, keluarga Nabi tersebut tidak segera berbaiat kepada Abu Bakar. Sungguhpun begitu, pada akhirnya mereka tidak boleh tidak membai’atnya juga.
Di sinilah awal munculnya benih-benih perbedaan yang menjadi dua kelompok besar yaitu Sunni dan Syi’ah. Kelompok sunni percaya bahwa kepemimpinan harus dipegang oleh mereka yang dipilih. Sedang Syi’ah percaya secara definitif harus terdiri dari 12 orang keturunan Rasulullah. Ali bin Abi Thalib yang menjabat sekitar 17 Maret 599 M-28 Februari 661 H adalah khalifah yang keempat dan terakhir bagi kelompok sunni, tapi yang pertama bagi Syi’ah.Syi’ah sekarang ini, khususnya aliran istnaa-asyariyyah banyak berkembang di Iran, Iraq dan Lebanon.
            Setelah Imam yang kedua belas, konsep kepemimpinan Syi’ah tidak dapat dipertahankan lagi, sehingga muncul istilah Vilayat-e Faqih yang diderivasi oleh Imam Khomeini sehingga menghasilkan revolusi 1979 di Iran.
            Syi’ah 12 berpendapat bahwa setelah ghaibnya imam mereka yang kedua belas, kepemimpinan dilanjutkan oleh para sarjana, mujtahid, dan ayatullah sehingga sang imam muncul kembali.
             Dalam al-Ahkam al-Sulthaniyyah al-Mawardi tidak berbicara eksplisist tentang Negara maupun tentang konsep imamah. Dikarenakan keberadaan kekhalifahan Abbasiyah dan masyarakat Islam telah diterima sebagai realitas politik taken for granted.(di diwarisi). Dalam perspektif kontemporer imamah di identikkan dengan lembaga kepresidenan, dan imam disejajarkan dengan presiden atau kepala Negara.
           Imamah sebagai sebuah lembaga politik yang sangat sentral dan penting dalam Negara, mempunyai tugas utama yakni menjalankan fungsi kenabian dalam melindungi agama dan mengatur dunia. Kata Al-Mawardi, “Al-Imamah maudu’atu li khilafat al-nubuwwah fi hisarat al-din wa siyat al-dunya”.
              Menurutnya pelembagaan imamah dilakukan karena adanya perintah agama dan bukan karena pertimbangan akal. Alasannya firman Tuhan :
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul dan kepada orang-orang yang mempunyai otoritas dari kalangan kamu”.(QS. An-Nisa’: 59).
Pemilihan Imam dilakukan dengan Ijma’ (consensus) umat Islam dan hukumnya wajib. Dengan kata lain, imam di pilih melalui sebuat pemilihan yang dilakukan oleh pemilih dengan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
5.      Kekuasaan Legislatif (sultah tasyri’iyah)
            Berdasarkan dalil naqli inilah yang menjadi fondasi berdirinya lembaga
musyawarah atau majelis syuro dalam Daulah Islamiyah yang dibangun
Rasulullah saw dan Khilafah Islamiyah yang dikembangkan oleh Khulafar
Rasyidin.
            Perbedaan yang sangat mendasar antara majelis syuro menurut konsep Al-Qur’an
yang dikembangkan dalam Khilafah Islamiyah dengan lembaga legislatif menurut
konsep trias politika adalah majelis syuro merupakan lembaga musyawarah yang
tidak terpisah dengan lembaga kekhalifahan. Sedangkan lembaga legislatif
menurut konsep trias politika adalah lembaga yang terpisah dari lembaga
eksekutif atau lembaga pemerintah.
            Tidak terpisahnya kekuasaan majelis syuro dengan lembaga kekhalifahan karena
dalam konsepsi ketatanegaraan Islam tidak ada yang dinamakan lembaga pembuat
hukum dan undang-undang sebagaimana yang berlaku dalam konsep trias
politika.
             Fungsi majelis syuro mengangkat aturan, hukum yang telah diturunkan Allah
SWT dan dicontohkan Rasulullah saw, begitu juga lembaga kekhalifahan
mempunyai hak dan tugas mengangkat, menerapkan, menjalankan, dan
melaksanakan aturan, hukum yang telah diturunkan Allah SWT dan dicontohkan
Rasulullah saw.
            Seperti yang telah diterangkan dalam tulisan sebelum ini yaitu majelis syuro
merupakan dewan musyawarah yang mempunyai fungsi untuk membicarakan segala
urusan baik yang disampaikan oleh rakyat maupun yang timbul dari para
anggota majlis syuro dalam hal keuangan, keamanan, hukum, yang nantinya
dikonsultasikan dengan Khalifah.
            Dimana dalam membicarakan segala urusan ini harus dikembalikan kepada dasar
dan sumber hukum yaitu Al Qur’an dan Sunnah. Apabila ternyata tidak ada
nas-nya (dasar Al Qur'an dan hadist) yang kuat, maka para mujtahid dan para
akhli dalam bidang masing-masing dari anggota majlis syuro melakukan ijtihad
untuk mencari hukum dengan membandingkan dan meneliti ayat-ayat dan
hadits-hadits yang umum serta menyesuaikan dan mempertimbangkan dengan
perkara yang sedang dibicarakan kemudian diqiaskan dengan hukum yang sudah
ada yang berdekatan dengan perkara yang sedang dibicarakan itu.
              Dan apabila dalam melakukan ijtihad ini timbul beberapa pendapat yang
berbeda, dimana masing-masingnya memiliki ayat-ayat dan hadits-hadits yang
umum yang kuat, maka jalan keluarnya adalah bukan melalui pemungutan suara,
tetapi diserahkan kepada Khalifah untuk memutuskan pendapat mana yang akan
dipakai dan ditetapkan yang nantinya akan diterapkan di Khilafah Islam untuk
ditaati oleh seluruh rakyat termasuk Khalifah dan seluruh penguasa di
Khilafah Islam.
              Jadi dalam masalah pemutusan pendapat mengenai aturan, hukum, undang-undang
antara majelis syuro dan lembaga kekhalifahan tidak bisa dipisahkan satu
sama lain.
            Adapun dalam masalah fungsi majelis syuro memilih dan mengangkat khalifah
itu merupakan hak dan kekuasaan majelis syuro sebagai wakil rakyat untuk
memilih dan mengangkat khalifah. Tetapi majelis syuro tidak punya hak dan
kekuasaan untuk menurunkan atau menjatuhkan khalifah atau melakukan
Impeachment selama khalifah tidak terbukti menyeleweng dari garis-garis yang
telah ditetapkan dalam Al Qur’an dan As-Sunnah.
            Jadi, khalifah bisa jatuh, bukan karena dijatuhkan oleh majelis syuro,
melainkan khalifah bisa jatuh kapan saja apabila terbukti menyeleweng dari
garis-garis yang telah ditetapkan dalam Al Qur’an dan As-Sunnah. Selama
khalifah tetap berada digaris yang telah ditetapkan dalam Al Qur’an dan
As-Sunnah, maka selama itu khalifah terus memimpin dan menjadi imam khilafah
Islamiyah.
              Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin tidak pernah terjadi Khalifah
diturunkan atau dijatuhkan. Karena memang tidak terbukti bahwa para kahlifah
melakukan tindakan yang menyeleweng dari garis yang telah ditetapkan dalam
Al Qur’an dan As-Sunnah.
             Adapun terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan bukan karena Khalifah telah
menyeleweng dari garis yang telah ditetapkan dalam Al Qur’an dan As-Sunnah,
melainkan karena timbulnya ketidak puasan dari warga Khilafah Islamiyah atas
kebijaksanaan politik Khalifah Utsman bin Affan atas pengangkatan para
Gubernur yang ada tali hubungan kekeluargaan dengan Khalifah Utsman bin
Affan. Dan timbulnya orang-orang kaya baru yang memiliki harta dan tanah
yang luas di daerah yang dikuasai Khilafah Islamiyah, dimana Khalifah Utsman
bin Affan tidak mampu mengatur dan mengontrol orang-orang kaya baru ini,
sehingga membangkitkan rasa tidak puas dan rasa ketidak adilan dikalangan
warga Khilafah Islamiyah.
              Jadi dalam ketatanegaraan Islam, konsep Check and Balances antara majelis
syuro dan lembaga kekhalifahan adalah dengan melihat apakah khalifah masih
tetap berada di garis yang telah ditetapkan dalam Al Qur’an dan As-Sunnah
atau sudah keluar. Dan majelis syuro tidak mempunyai hak Impeachment, karena
jatuhnya khalifah bukan karena adanya tuntutan dan tuduhan dari majelis
syuro, melainkan kalau terbukti secara hukum khalifah telah menyeleweng dari
garis yang telah ditetapkan dalam Al Qur’an dan As-Sunnah.
              Karena itu dalam ketatanegaraan Islam semangat musyawarah antara majelis
syuro dan lembaga kekhalifahan merupakan dorongan dan tenaga bagi lajunya
roda pemerintahan Khilafah Islamiyah yang didasarkan kepada aqidah Islam.
6.      Pembatasan dan Pertanggungjawaban Kekuasaan
               Setelah konsep pembagian kekuasaan tersebut masalah pokok berikutnya adalah tentang pembatasan dan pertanggungjawaban kekuasaan serta pergiliran kekuasaan menurut konsep Islam. Islam melalui Al-Qur’an sebagai sumber hukum utamanya telah menjelaskan tentang kewajiban bagi penguasa untuk tidak bertindak melebihi batas dan sewenang-wenang. Maka barangsiapa yang bertindak demikian, penguasa tersebut merupakan penguasa yang zhalim dan hanya akan menyengsarakan rakyatnya. Oleh karena itu, Islam sangat membatasi kekuasaan para penguasa sehingga baik para penguasa maupun rakyat yang dipimpinnya nantinya dapat selamat dunia dan akhirat. Sebab, dalam Islam pertanggungjawaban kekuasaan bukan hanya kepada manusia atau rakyat yang dipimpinnya, melainkan juga tanggung jawab kepada Tuhan sesuai dengan konsep kedaulatan Tuhan. Sedangkan, bagi rakyat yang dipimpinnya mendapat penguasa yang bijaksana dan adil merupakan suatu berkah dari Tuhan yang apabila disyukuri akan menambah keridhaan Tuhan pada rakyat suatu negeri. Penguasa yang adil menurut Islam adalah penguasa yang senantiasa mengikuti petunjuk dan hukum dari Tuhan melalui Al-Qur’an. Selain itu penguasa yang adil juga merupakan penguasa yang memberikan hak-hak rakyatnya termasuk golongan minoritas (non-muslim), secara penuh tanpa dikurangi sedikitpun menurut Al-Qur’an dan kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepadanya, tidak dijadikan alat untuk membatasi atau mengurangi sedikitpun hak-hak dari rakyat yang dipimpinnya. Sehingga baik golongan mayoritas maupun golongan minoritas dapat menerima hak-haknya berdasarkan ketentuan yang diberikan Al-Qur’an. Hanya ada beberapa hak yang tidak bisa diterima oleh golongan minoritas, hak-hak itu antara lain berupa hak untuk menduduki posisi puncak dari kekuasaan eksekutif (Khalifah), legislatif (Majelis Syuro), dan yudikatif (Qadhi) karena posisi-posisi puncak tersebut, berdasarkan Al-Qur’an harus diisi oleh pemeluk Islam. Selain dari posisi-posisi tersebut, golongan minoritas diperkenankan untuk memegang jabatan penting lainnya dalam sebuah negara Islam. Sehingga dengan demikian, Islam juga menaruh perhatian terhadap kekuasaan bagi golongan minoritas.
            Negara yang baik adalah negara yang mempergilirkan pucuk kekuasaan secara teratur (suksesi) baik itu lewat pemilu, pewarisan tahta, dan sebagainya. Sebab, apabila tidak ada suksesi maka lama-kelamaan kecenderungan para penguasa untuk menyalahgunakan kekuasaan sangat besar dan akan timbul kesombongan, lupa diri, dan simbolisasi pada diri para penguasa sehingga hal tersebut sangat bertentangan dengan konsep kekuasaan menurut Islam karena dapat membawa para penguasa menjadi penguasa zhalim dan tiran. Namun, dalam Islam tidak ada konsep pergiliran kekuasaan secara jelas, bahkan konsep pembatasan masa jabatan dari pemegang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif pada masa Khulafaur Rasyidin belum ada tetapi, karena hal ini merupakan bentuk kemaslahatan untuk negara dan tidak ada larangan di dalam Al-Qur’an dan hadist maka pembatasan dan pergiliran kekuasaan dalam Islam hukumnya adalah boleh. Sehingga masalah pergiliran kekuasaan dan pembatasan masa jabatan pemimpin adalah masalah baru dalam konsep kekuasaan Islam. Oleh karena itu, masalah ini merupakan masalah yang harus dipecahkan melalui itjihad ulama—sebagai sumber hukum negara Islam yang ketiga.
             Menurut beberapa itjihad yang dilakukan ulama tentang pembatasan dan pergiliran kekuasaan, apabila eksekutif (khalifah) melakukan penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan yang mengarah kepada tirani dan absolutisme maka dalam hal ini, Majelis Syurolah yang memberhentikannya sebelum masa jabatannya berakhir. Sebab dalam hal ini memiliki beberapa hak yang hampir sama dengan sistem politik negara barat. Hak-hak tersebut antara lain, hak untuk mengangkat dan memilih khalifah (pengangkatan khalifah pada masa Khulafaur Rasyidin menggunakan sistem musyawarah sehingga beberapa ahli politik menyimpulkan bahwa sistem pemerintahan Islam berdasarkan sistem pemerintahan perwakilan), hak untuk memecat dan memberhentikan khalifah, hak untuk membuat undang-undang dan kebijaksaan, dan hak untuk melakukan control terhadap khalifah. Sehingga, jelaslah bahwa konsep pembatasan dan pergiliran kekuasaan Islam sebenarnya nyaris sama dengan konsep kekuasaan barat.






















BAB III
KESIMPULAN
1.     Pembagian kekuasaan lembaga negara dalam islam menurut para ulama diantaranya :
A.    Abdul Wahab Khallaf
           Membaginya menjadi tiga bagian, yaitu:
1.Lembaga legislatif (sultah tasyri’iyah), lembaga ini adalah lembaga negara
yang menjalankan kekuasaan untuk membuat undang-undang.
2. Lembaga eksekutif (sultah tanfiziyyah), lembaga ini adalah lembaga negara
yang berfungsi menjalankan undang-undang.
3. Lembaga yudikatif (sultah Qada’iyyah), lembaga ini adalah lembaga negara
yang menjalankan kekuasaan kehakiman.

2.Abdul Kadir Audah
kekuasaan dalam negara Islam itu dibagi ke dalam lima bidang, artinya ada lima kekuasaan dalam Negara Islam, yaitu:
1. Sultah Tanfiz}iyyah (kekuasaan penyelenggara undang-undang).
2. Sultah Tashri’iyah (kekuasaan pembuat undang-undang).
3. Sultah Qadhoiyah (kekuasaan kehakiman).
4. Sultah Maliyah (kekuasaan keuangan).
5. Sultah Muraqabah wa Taqwim (kekuasaan pengawasan masyarakat).

2.      Perbedaan Lembaga Legislatif menurut konsep islam dan tata negara barat :
              Perbedaan yang sangat mendasar antara majelis syuro menurut konsep Al-Qur’an
yang dikembangkan dalam Khilafah Islamiyah dengan lembaga legislatif menurut
konsep trias politika adalah majelis syuro merupakan lembaga musyawarah yang
tidak terpisah dengan lembaga kekhalifahan. Sedangkan lembaga legislatif
menurut konsep trias politika adalah lembaga yang terpisah dari lembaga
eksekutif atau lembaga pemerintah.
            Tidak terpisahnya kekuasaan majelis syuro dengan lembaga kekhalifahan karena
dalam konsepsi ketatanegaraan Islam tidak ada yang dinamakan lembaga pembuat
hukum dan undang-undang sebagaimana yang berlaku dalam konsep trias
politika.






















DAFTAR PUSTAKA

   Hamka,buya.Sejarah Umat Islam. Jakarta:1991.Muslim  Cendikia.

Khalaf,Abdul Wahab. Perkembangan Sejarah Hukum Islam. Jakarta:2000.CV Pustaka Setia.

Syekh Taqiyyuddin al-Nabhani,Hizbut Tahrir,kitab Nizhamu al-Islam dan penjelasannya,kitab Muqaddimah Ad Dustur. Jakarta:2000. HT press.


















[2] Syekh Taqiyyuddin al-Nabhani,Hizbut Tahrir,kitab Nizhamu al-Islam dan penjelasannya,kitab Muqaddimah Ad Dustur.Jakarta:2000.HT press.

[3] Prof.Khalaf,Abdul Wahab.Perkembangan Sejarah Hukum Tata Negara Islam.Jakarta:2000.CV Pustaka Setia.

[5]Syekh Taqiyyuddin al-Nabhani,Hizbut Tahrir,kitab Nizhamu al-Islam dan penjelasannya dalam kitab Muqaddimah Ad Dustur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar