Minggu, 25 Desember 2011

UAS Hukum Agrari


I. Jelaskan dan bagaimana proses pelaksanaan mengenai pendaftaran tanah di bawah ini:
1.       Kegiatan dan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah untuk Pertama Kali
a.       Kegiatan Pendaftaran Tanah;
b.      Pelaksanan Pendaftaran Tanah.
Jawab :
a.    Kegiatan pendaftaran tanah : untuk pertama kali yaitu tanah-tanah yang masih  milik adat berupa leter C, AJB, atau bukti kepemilikan berupa segel.
b.    Pelaksanaan pendaftaran tanah pertama kali melalui proses pengakuan hak baik sporadik maupun sistematis.
         Sporadik: Rutin ke BPN                           
         Sistematis: Ajudikasi/ Prona/ LARASITA              

Dasar Hukum
PP no 24 tahun 1997
BAB IV
PENDAFTARAN TANAH UNTUK PERTAMA KALI
Bagian Kesatu
Pasal 13

(1)    Pendaftaran tanah untuk pertamakali dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik.
(2)    Pendaftaran tanah secara sistematik didasarkan pada suatu rencana kerja dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh menteri.
(3)    Dalam hal suatu desa/kelurahan belum ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pendaftaran dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sporadik.
(4)    Pendaftaran tanah secara sporadik dilaksanakan atas permintaan pihak yang berkepentingan.

Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN No.3 Tahun 1997
Bagian Kedua
Pendaftaran Tanah Secara Sporadik
Pasal 73

(1)    Kegiatan pendaftaran tanah secara sporadik dilakukan atas permohonan yang bersangkutan dengan surat sesuai bentuk sebagaimana tercantum dalam lampiran 13.
2.       Pengumpulan data dan Pengolahan Data Fisik
a.       Pengukuran dan Pemetaan;
b.      Pembuatan Peta Dasar Pendaftaran;
c.       Penetapan Batas-batas Bidang Tanah;
d.      Pembuatan daftar Tanah;
e.      Pembuatan Surat Ukur.
Jawab :
a.         Pengukuran dan pemetaan dilaksanakan oleh petugas teknis pengukuran atau   pemetaan dengan cara penunjukan batas di lokasi yang otentik dan pengukuran dilaksanakan oleh petugas ukur dari BPN.
b.         Pembuatan peta dasar pendaftaran berdasarkan hasil pengukuran oleh petugas BPN dengan cara di ukur terlebih dahulu.
c.          Penetapan batas-batas bidang tanah berdasarkan penunjukan batas-batas yang otentik oleh pemilik tanah dan pemilik tanah yang sedamping atau Bentuk, ukuran, dan penempatan tanda batas di tetapkan oleh Menteri.

d.         Pembuatan daftar  tanah berdasarkan.

e.         Pembuatan surat ukur berdasarkan pengukuran dan pemetaan, dan penutupan batas-batas bidang tanah.
Dasar Hukum
Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 1997
Bagian Kedua
PENGUMPULAN dan PENGOLAHAN DATA FISIK
Paragraf 5
PENGUKURAN DAN PEMETAAN
Pasal 14
(1)    Untuk keperluan pengumpulan dan pengolahan data fisik dilakukan pengukuran dan pemetaan.
(2)    Kegiatan pengukuran dan pemetaan sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi :
a.       Pembuatan peta dasar pendaftaran;
b.      Penetapan batas-batas bidang;
c.       Pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta pendaftar;
d.      Pembuatan daftar tanah;
e.      Pembuatan surat ukur.
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN No.3 Tahun 1997
Bagian Kedua
Pembuatan Peta Dasar Pendaftaran
Pasal 13
(2)    Peta dasar pendaftaran dapat berupa peta garis atau peta poto.
(3)    Pembuatan peta dasarpendaftaran dilaksanakan dengan meningkatkan ke titik dasar teknik nasional.
(4)    Peta dasar pendaftaran yang masih berada dalam kondisi koordinat lokal harus ditrasnformasikan ke dalam koordinat nasional.
Pasal 14
Detail yang diukur dalam pembuatan peta dasar pendaftarab meliputi semua atau sebagian unsur geografi, seperti jalan, bangunan, batas fisik bidang tanah dan ketinggian.

Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 1997
Paragraf 3
Penetapan Batas-batas Bidang Tanah
Pasal 17
(3)    Penempatan tanda-tanda batas termasuk pemeliharaannya wajib dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.
(4)    Bentuk, ukuran, dan penempatan tanda batas di tetapkan oleh Menteri.

Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 1997
BAB III
POKOK-POKOK PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN TANAH
Bagian Kesatu
Penyelenggaraan dan Pelaksana Pendaftaran Tanah
Pasal 5
Pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional
Pasal 21
(1)    Bidang atau bidang tanah yang sudah dipetakan atau dibubuhkan nomor pendaftarannya pada peta pendaftaran dibukukan dalam daftar tanah.


Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 1997
Paragraf 6
Pembuatan Surat Ukur
Pasal 22
(1)      Bagi bidang-bidang tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf a, b dan c yang sudah diukur serta dipetakan dalam peta pendaftaran, dibuatkan ukur untuk keperluan pendaftaran haknya.

3.       Pengumpulan dan Pengolahan Data Yuridis serta Pembukuan Haknya
a.       Alat bukti hak-hak atas tanah yang baru;
b.      Alat bukti hak-hak atas tanah yang lama;
c.       Dasar pembukuan hak jika tidak lengkap alat bukti pemiliknya;
d.      Menilai kebenaran alat bukti;
e.      Pengumuman Data Fisik dan Yuridis;
f.        Pembukuan Hak.
Jawab :
a.         Akta, sertifikat
b.         Segel leter c
c.          Surat pernyataan dari desa setempat bahwa tanah tersebut benar-benar milik sendiri
d.         Dengan cara pengecekan ke desa adanya legalisir
e.         Setelah benar dan komplit, dan benar baru diumumkan dari BPN selama dua bulan
f.          Setelah habis pengumuman baru dicetak sertifikat.

Dasar Hukum
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN No.3 Tahun 1997
Pengumuman Data Fisik dan Yuridis, dan Pemberian Hak
Pasal 64

(2)    Apabila pada waktu pengesahan data fisik dan data yuridis sebagaimana dimaksud dengan ayat (1) masih ada kekuranganlengkapan data atau masih ada keberatan yang belum diselesaikan, maka pengesahan tersebut dilakukan dengan catatan mengenai hal-hal yang belum lengkap dan keberatan yang belum diselesaikan.



Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 1997
Paragraf 3
Pembukuan Hak
Pasal 29

(1)    Hak atas tanah, hak pengolahan, tanah wakaf, hak milik atas rumah susun dan hak-hak lainnya yang akan ditentukan kemudian dengan peraturan perundang-undangan didaftar dengan membukukannya dalam buku tanah yang memuat data yuridis dan data fisik bidang tanah yang bersangkutan, dan sepanjang ada surat ukurnya dicatat pula pada surat ukur.

(3)  Pembukuan hak sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan berdasarkan alat bukti yang dimaksud dalam Pasal 23 dan berita acara pengesahan sebagaimana dimaksud Pasal 28.
             

4.       Penerbitan Sertifikat
a.       Tatacara Penerbitan Sertifikat dan Bentuk Sertifikat;
b.      Penyerahan Sertifikat;
c.       Penangguhan Penerbitan Sertifikat;
d.      Penerbitan Sertifikat Pengganti.
Jawab :
a.         Setalah peta bidang dikirim, digabungkan dengan map permohonan lalu dicetak sc berikut blangko sertifikat kemudian di tandatangani kasubsi, kasi, kakar, kirimkan lagi ke sekertariat untuk dinomor 208 setelah itu turun ke loket lalu pengambilan (sendiri/dikuasakan).
b.         Penyusunan sertifikat setelah pembukuan di BPN.
c.          Bila mana ada masalah, sengketa   
d.         Apabila sertifikat hilang maka akan dibuatkan surat pernyataan dari BPN, Desa, Kecamatan, Kepolisian selama 3 bulan
Dasar Hukum
Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 1997
BAB VI
PENERBITAN SERTIFIKAT PENGGANTI


Pasal 58
(1)    Atas permohonan pemegang hak diterbitkan sertifikat hak diterbitkan baru sebagai pengganti sertifikat yang rusak, hilang, masih menggunakan blanko sertifikat yang tidak digunakan lagi, atau yang tidak diserahkan kepada pembeli lelang dalam suatu lelang eksekusi.
(5)    Penggantian sertifikat sebagaimana dimaksudkan ayat (1) dicatat pada buku tanah yang bersangkutan.



Pasal 59
Dalam hal penggantian sertifikat karena rusak atau pembaharuan blanko sertifikat yang lama ditahan dan dimusnahkan.




II. Jelaskan dan tuliskan bentuk-bentuk kesepakatan dan janji-jani yang harus    dituangkan dalam akta pemberian hak tanggungan (APHT) berdasarkan Undang-undang No.4 tahun 1996 tentang hak tanggungan. Dengan mempertimbangkan kepentingan pihak debitur maupun kreditur. 

Antropoligi Hukum

MORATORIUM LOGGING DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI HUKUM

I. PENDAHULUAN
1.1. KONDISI HUTAN TROPIS INDONESIA
Luas hutan tropis (tropical rain forest) di dunia yang masih tersisa diperkirakan kurang dari 9 juta km2, tersebar di tiga belahan dunia, yaitu : seluas 5,1 km2 di wilayah Amerika Latin (meliputi 23 negara); di wilayah Afrika Tengah bagian Barat (mencakup 16 negara) seluas 1,8 juta km2; dan di wilayah Indonesia seluas 1,43 juta km2. Karena itu, Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki kawasan hutan tropis terluas kedua di dunia setelah Brazilia.
Luas kawasan hutan tropis Indonesia  diperkirakan mencapai 144 juta hektar, atau sekitar 74 % dari luas daratan Indonesia, menyimpan keanekaragaman hayati  (bio-diversity) terkaya di dunia, yang meliputi : lebih dari 1500 jenis burung, 500 jenis mamalia, 21 jenis reptil, 65 jenis ikan air tawar, dan 10 ribu jenis tumbuhan tropis. Namun demikian, sejak tiga dasa warsa terakhir ini luas kawasan hutan tropis Indonesia semakin berkurang dari tahun ke tahun, karena mengalami degradasi dan deforestasi yang sangat serius akibat eksploitasi besar-besaran untuk dan atas nama pembangunan (in the name of development). Luas kerusakan hutan tropis Indonesia  pada tahun 1970-an mencapai 300.000 hektar; pada tahun 1980-an meningkat dua kali lipat menjadi 600.000 hektar; pada tahun 1990-an meningkat Luas hutan tropis (tropical rain forest) di dunia yang masih tersisa diperkirakan kurang dari 9 juta km2, tersebar di tiga belahan dunia, yaitu : seluas 5,1 km2 di wilayah Amerika Latin (meliputi 23 negara); di wilayah Afrika Tengah bagian Barat (mencakup 16 negara) seluas 1,8 juta km2; dan di wilayah Indonesia seluas 1,43 juta km2. Karena itu, Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki kawasan hutan tropis terluas kedua di dunia setelah Brazilia.
Luas kawasan hutan tropis Indonesia  diperkirakan mencapai 144 juta hektar, atau sekitar 74 % dari luas daratan Indonesia, menyimpan keanekaragaman hayati  (bio-diversity) terkaya di dunia, yang meliputi : lebih dari 1500 jenis burung, 500 jenis mamalia, 21 jenis reptil, 65 jenis ikan air tawar, dan 10 ribu jenis tumbuhan tropis. Namun demikian, sejak tiga dasa warsa terakhir ini luas kawasan hutan tropis Indonesia semakin berkurang dari tahun ke tahun, karena mengalami degradasi dan deforestasi yang sangat serius akibat eksploitasi besar-besaran untuk dan atas nama pembangunan (in the name of development). Luas kerusakan hutan tropis Indonesia  pada tahun 1970-an mencapai 300.000 hektar; pada tahun 1980-an meningkat dua kali lipat menjadi 600.000 hektar; pada tahun drastis menjadi 1,3 juta hektar per tahun (Laporan Kualitas Lingkungan Hidup Indonesia 1990); dan laporan terkini menyebutkan angka  degradasi hutan mencapai 1,7 juta hektar per tahun (Departemen Kehutanan, 2000).
Implikasi dari eksploitasi hutan secara tak terkendali di Indonesia,  tidak hanya sebatas semakin menipisnya jumlah tegakan kayu yang bernilai ekonomi tinggi untuk pendapatan/devisa negara (economical loss), tetapi juga Indonesia kehilangan kekayan keanekaragaman hayati (flora dan fauna) dan kerusakan alam (ecological loss), dan lebih dari itu adalah pengabaian/penggusuran hak-hak masyarakat adat/lokal serta marjinalisasi tatanan sosial dan budaya masyarakat (social and cultural loss), yang tidak pernah diperhitungkan sebagai ongkos ekonomi, ekologi, dan ongkos sosial-budaya yang harus dikorbankan untuk pembangunan (cost of development).
Dengan kata lain, kegiatan pembangunan yang diorientasikan semata-mata untuk mengejar pertumbuhan ekonomi (economic development) harus dibayar sangat mahal dengan penimbulan korban-korban pembangunan (victims of development), karena selain merusak sumber daya alam dan lingkungan hidup, menguras sumber-sumber kehidupan masyarakat adat/lokal, juga dalam implementasinya telah menggusur hak-hak masyarakat adat/lokal atas penguasaan dan pemanfaatan sumber daya hutan, serta mengabaikan kemajemukan hukum (legal pluralism) yang hidup dan berkembang dalam masyarakat (Nurjaya, 2001).

1.2. KONDISI HUTAN DI PULAU JAWA
Luas kawasan hutan Jawa yang diklasifikasi sebagai hutan negara (state forest) adalah 2,9 juta hektar, atau kurang lebih 23 % dari luas daratan Pulau Jawa (Barber, 1989; Bratamiharja, 1990; Peluso, 1990).  Kawasan hutan di Jawa terletak berbatasan langsung dengan lebih dari 6000 desa,  dengan jumlah penduduk yang diperkirakan mencapai 30 juta jiwa. Lebih dari 60 % dari jumlah penduduk yang tinggal di desa-desa sekitar hutan menggantungkan hidupnya pada sumber daya hutan. Penduduk membuka ladang, menebang kayu, mengumpulkan kayu bakar, mengambil rumput/dedaunan pakan ternak, dan menggembalakan ternak di kawasan hutan (Barber, 1989; Simon, 1993; Poffenberger, 1990; Stoney & Bratamihardja, 1990; Peluso, 1992; Nurjaya, 2001).
Implikasi dari kondisi sosial dan ekonomi penduduk di sekitar hutan seperti digambarkan di atas adalah :
1.    Semakin beratnya tekanan penduduk terhadap kawasan hutan, menurunnya kualitas hasil pembuatan tanaman, meningkatnya tanah  hutan yang dibuka untuk lahan garapan, meningkatnya pengambilan kayu perkakas maupun kayu bakar dari dalam hutan, meningkatnya pengambilan hasil hutan lainnya secara illegal, yang pada gilirannya kemudian mengakibatkan semakin luasnya kerusakan kawasan hutan di Pulau Jawa;
2.    Semakin meningkatnya intensitas konflik/sengketa penguasaan dan pemanfaatan sumber daya hutan antara penduduk desa-desa di sekitar dengan BUMN pengelola hutan di Jawa, sehingga kinerja pengelolaan hutan tidak dapat diselenggarakan secara optimal seperti diharapkan oleh pemerintah
Jika dicermati secara seksama dikatakan bahwa kondisi kemiskinan penduduk di desa-desa sekitar hutan, meningkatnya jumlah penduduk dari tahun ke tahun, tidak tersedianya lapangan pekerjaan di luar pertanian, sempitnya penguasaan tanah garapan di pedesaan, menjadi  sumber penyebab semakin tertekannya hutan oleh kegiatan penduduk di desa-desa sekitar hutan. Namun, dari perspektif antropologi hukum, dapat dikatakan justru faktor hukum dan kebijakan pemerintah menjadi sumber pendorong penduduk di dan sekitar hutan menjarah hutan, menebang kayu, mengambil  kayu bakar, merumput dan menggembalakan ternak, sehingga fenomena kerusakan hutan semakin meluas dari tahun ke tahun di Pulau Jawa.
Hal ini karena pemerintah menganut ideologi pengelolaan hutan yang berbasis pada pemerintah (government-based forest managament), diatur dengan hukum yang bercorak represif (repressive law), dengan pendekatan sekuriti (security approach), dan pemberian monopoli kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum  Perhutani), sehingga kinerja pengelolaan dan pengusahaan hutan diselenggarakan secara tersentralisasi dan dominasi (centralized and dominated forest management) oleh Perum Perhutani.  Dengan demikian, penduduk di dan sekitar hutan tidak memiliki akses secara proporsional untuk memanfaatkan sumber daya hutan, dan mengelola kawasan hutan secara partisipatif, karena setiap penduduk yang mencoba mengakses dan memperoleh manfaat  dari hutan secara yuridis diberi label kriminal dan distigmatisasi sebagai pencuri kayu, penjarah hutan, perumput liar, peladang liar, pengumpul kayu bakar illegal , penggembala liar, dll.
Di sisi lain, dalam krida pengelolaan hutan Perum Perhutani mengemban 3 misi pokok sekaligus, yaitu : (1) misi ekonomi (economic mission), sebagai mesin uang (money mechine) pemerintah untuk meningkatkan pendapatan dan devisa Negara (state revenue);  (2) misi ekologi (ecological mission), sebagai BUMN yang bertugas melakukan  konservasi sumber daya hutan; dan (3) misi sosial (social mission), sebagai institusi pemerintah yang wajib meningkatkan kesejahteraan penduduk di desa-desa sekitar hutan.
Dengan demikian, menurut Peluso (1992) kinerja Perum Perhutani conditio sine qua non dituntut untuk memainkan 3 peran pokok sekaligus, yaitu : (1) sebagai penguasa kawasan hutan (forest lands lord) yang wenang melakukan kontrol atas tanah hutan (control of forest lands), sumber daya hutan (control of forest species), dan tenaga kerja kehutanan (control of forest labours); (2) sebagai perusahaan pemerintah (forest corporation) untuk meningkatkan pendapatan dan devisa Negara; dan (3) sebagai institusi pemerintah untuk konservasi sumber daya hutan (conservation institution).

II. JEDA BALAK : PERSPEKTIF ANTROPOLOGI HUKUM
2.1. MAKNA ANTROPOLOGIS JEDA BALAK
Wacana jeda balak (moratorium logging) menjadi semakin mengedepan dalam kurun waktu 2 tahun terakhir ini, setelah kondisi hutan tropis di negeri ini mengalami kerusakan sangat serius, memperoleh sorotan dunia internasional, akibat eksploitasi dan pembalakan legal maupun illegal secara besar-besaran, untuk memenuhi target demand kayu dari industri perkayuan nasional maupun internasional; yang kemudian diiringi dengan bencana alam berupa penurunan debit air sungai, berkurangnya sumber-sumber air, dan kebakaran di musim kemarau, serta ancaman bencana banjir (bandang), tanah longsor dan bencana alam lainnya di musim hujan.
Secara etimologi, yang dimaksud jeda balak adalah suatu kegiatan untuk menghentikan pembalakan kayu secara legal maupun illegal sementara waktu, dengan tujuan untuk memberi kesempatan floran dan fauna hutan tumbuh lebih baik dan berkembang secara alami, sehingga secara ekologis dapat berfungsi lebih optimal, dari sisi ekonomi memberi manfaat yang lebih optimal bagi kesejahteraan manusia, dan dari sisi sosial-budaya memberi suasana yang tentram bagi kehidupan masyarakat di dan sekitar hutan.
Jika jeda balak sekadar diartikan sebagai penghentian sementara pembalakan kayu, maka menurut saya jeda balak menjadi tidak punya makna yang substansial, karena hutan bukan hanya tempat tumbuhnya  kumpulan pohon kayu, tetapi merupakan ekosistem yang meliputi sumber daya alam tanah, air, sungai, danau, gunung, mineral, flora dan fauna, dan juga tempat hidup manusia, yang satu sama lain saling mempengaruhi. Oleh karena itu, jeda balak harus dimaknai  sebagai  komitmen bersama seluruh stakeholders (pemerintah, legislatif, pelaku usaha, NGO, masyarakat, perguruan tinggi, termasuk TNI/POLRI) dengan penuh kesadaran untuk menghentikan (sementara) seluruh aktivitas tidak hanya pembalakan kayu, tetapi juga pengambilan hasil hutan nonkayu, penggarapan lahan untuk komoditi pertanian, pengambilan tumbuhan dan perburuan satwa (bio-diversity) secara legal maupun illegal.
Selain itu, jeda balak sebagai suatu proses tidak terhenti sebatas jeda balak kayu, hasil hutan nonkayu, dan keanekaragaman hayati, tetapi juga mencakup komitmen seluruh stakeholders untuk membangun political will dan political action dengan melakukan review, evaluasi dan penyusunan rencana aksi (action plan) untuk melakukan : (a) restrukturisasi industri perkayuan, (b) reformulasi kebijakan dan kelembagaan kehutanan,             (c) konsistensi penegakan hukum, (d) penghentian pemberian ijin konsesi pengusahaan hutan dan industri perkayuan, dan (e) jeda konversi hutan menjadi areal perkebunan, pertanian, atau transmigrasi.
Inilah sesungguhnya menurut pendapat saya makna jeda balak dari perspektif proses dan target yang dikehendaki seluruh stakeholders, apabila jeda balak dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada hutan (dengan segala isinya) untuk tumbuh dengan baik dan berkembang secara alami, sehingga dapat berfungsi dan memberi manfaat yang optimal bagi kesejahteraan hidup manusia.
Dari perspektif antropologis, jeda balak dalam makna seperti dimaksud di atas sesungguhnya bukan wacana baru, karena dalam kehidupan etnik-etnik tertentu di Indonesia secara sinambung dan konsisten dilaksanakan tradisi jeda pemanfaatan sumber daya alam dengan berbasis pada (norma) hukum adat, seperti tradisi sasi laut, sasi sungai,  sasi hutan, dan sasi darat (negeri) di Haruku, Maluku Tengah (Kissya, 1993) dan di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara (Rahail, 1995); tradisi sasisen darat, pesisir, dan laut di Distrik Biak Timur dan Kepulauan Padaido, Biak, Papua (Leksono, 2001); tradisi kekeran desa di Tenganan Pegringsingan, Bali (Nurjaya, 1985); tradisi pikukuh leuweung kolot, leuweung titipan, dan leuweung lembur di masyarakat adat Baduy dan Kasepuhan, Jawa Barat (Adimihardja, 1992); tradisi tetumbang di Suku Anak Dalam (Kubu), Jambi (Nurjaya, 2002), dll.
Tradisi jeda seperti di atas merupakan cerminan dari kearifan ekologi (ecological wisdom) masyarakat adat dalam pemanfaatan sumber daya darat, pesisir dan laut, untuk memberi kesempatan tumbuh dan berkembangnya populasi alam hayati dan nonhayati secara alami, sehingga memberi manfaat  lebih optimal pada kehidupan masyarakat setempat. Selain itu, ekspresi dari pelaksanaan ritual-ritual tertentu dalam masyarakat hukum adat, apabila dicermati secara seksama, juga mencerminkan kearifan masyarakat adat dalam memperlakukan sumber daya alam, karena melalui upacara-upacara alam dihargai, perlakukan, dirawat, dikonservasi, dan dimanfaatkan secara arif dan bijaksana untuk kehidupan.
Hari suci Nyepi bagi umat Hindu di Bali, misalnya, merupakan contoh konkrit aksi jeda pemanfaatan alam, karena setiap tahun sekali selama 24 jam alam semesta diberi kesempatan untuk terbebas dari aktivitas manusia, dengan aksi catur brata penyepian, yaitu : amati geni (tidak menyalakan api), amati pekaryan (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak bersenang-senang). Setiap 6 bulan sekali dalam setahun komunitas Hindu di Bali juga melakukan upacara tumpek ubuh (bagi tumbuh-tumbuhan) dan upacara tumpek kandang (bagi ternak), sebagai ekspresi kearifan masyarakat setempat memperlakukan flora dan fauna, agar memberi manfaat yang optimal bagi kehidupan.

2.2. JEDA BALAK : PERSPEKTIF ANTROPOLOGI HUKUM
Secara yuridis-formal kinerja pengelolaan sumber daya hutan diatur  dengan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan junto PP No. 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan. Dalam UU Kehutanan 1999 tidak diatur secara khusus ketentuan mengenai jeda balak, tetapi secara eksplisit diatur mengenai pembatasan pembalakan hutan dalam bentuk larangan-larangan seperti dimaksud pada pasal 50 ayat (3) hurup c, e, dan k, yang disertai dengan sanksi pidana dan denda; dan dalam pasal 9 PP No. 28 Tahun 1985 secara eksplisit diatur pula larangan pembalakan hutan tanpa ijin dari pejabat yang berwenang, yang disertai dengan ketentuan sanksi pidana dan denda.
Dalam kaitan ini, perlu juga ditunjukkan eksistensi PP No. 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi, sebagai instrumen hukum (legal instrument) yang berfungsi mencegah kerusakan hutan dari kegiatan pengusahaan hutan dan pemungutan hasil hutan, karena dua kegiatan ini sangat rentan bagi kerusakan hutan apabila tidak disertai dengan monitoring, pengawasan, dan penegakan hukum (law enforcement) yang konsisten. Namun, sangat disesalkan ternyata PP ini tidak mengatur larangan-larangan yang disertai dengan sanksi pidana, selain diatur mengenai sanksi administratif  yang berupa pencabutan ijin, pengurangan areal kerja, dan denda aministrasi bagi pelanggarnya (pasal 33, 34, 35, 36, 37, dan 38).
Implikasi yuridis dari ketentuan seperti ini adalah pemegang hak pengusahaan hutan akan cenderung untuk melakukan pelanggaran, melakukan kegiatan melebihi dari haknya, mengabaikan kaidah-kaidah ilmu kehutanan, mengeksploitasi dan merusak hutan, dan kinerja penegakan hukum menjadi tidak berdaya.
Aturan mengenai larangan-larangan disertai dengan ketentuan sanksi pidana (penjara atau kurungan) dan denda dalam suatu peraturan perundang-undangan mempunyai fungsi pencegahan (preventive) dan fungsi penindakan (represive), dalam rangka kepastian hukum (rechmatigeheid) dan penegakan hukum (law enforcement). Apabila ketentuan-ketentuan tersebut ditaati oleh stakeholders (pemegang hak, pelaku usaha,  masyarakat, pemerintah maupun penegak hukum), maka kerusakan hutan dan degradasi sumber daya hutan tentu dapat dicegah atau setidak-tidaknya dapat dikendalikan melalui upaya penegakan hukum yang konsisten, sehingga tidak diperlukan aksi jeda balak dalam pengelolaan hutan di negeri ini.
Oleh karena itu, dari perspektif antropologi hukum mencermati dan mengkritisi wacana jeda balak harus dilakukan secara holistik/ komprehensif, karena akar (substansi) jeda balak tidak semata-mata terletak  pada upaya melakukan jeda penebangan kayu hutan, tetapi lebih dari itu menyangkut persoalan yang struktural, mulai dari proses pembuatan peraturan perundang-undangan (law making process), produk hukum yang dihasilkan (legal product), pelaksanaan hukum (law implementation/ aplication), dan  penegakan hukumnya (law enforcement).
Dalam konteks law implementation dan law enforcement harus dicermati interrelasi tiga elemen pokok, yang sangat menentukan efektif atau tidaknya kegiatan tersebut, yaitu : (1) substansi hukum (substance of law) berupa peraturan perundang-undangan; (2) struktur hukum (structure of law) yaitu institusi dan aparat penegak hukum; dan kultur hukum (legal culture) yakni budaya hukum masyarakat. Ketiga elemen hukum tersebut merupakan suatu sistem (legal system) yang masing-masing sub sistemnya saling terkait dan saling mempengaruhi, sehingga efektivitas hukum sangat ditentukan oleh ketiga elemen hukum tersebut (Friedman, 1984).
Oleh karena itu, apabila peraturan perundang-undangan/hukumnya tersusun baik dan lengkap, tetapi aparat hukumnya tidak konsisten/bermoral buruk atau terjadi sebaliknya, maka hukum menjadi tidak efektif dalam implementasinya; apabila hukumnya baik, aparat hukumnya juga baik, tetapi kultur hukum masyarakat tidak kondusif karena bertentangan dengan nilai/norma hukum adat setempat, maka hukum negara (state law) menjadi tidak efektif, alias tidak ditaati oleh masyarakat.

























III. CATATAN PENUTUP
Jeda balak pada dasarnya meliputi aspek proses dan target, dan karena itu secara substansial wacana jeda balak tidak semata-mata bermakna   penghentian sementara pembalakan kayu hutan secara legal maupun illegal, tetapi juga jeda bagi pemungutan hasil hutan nonkayu, termasuk pengambilan flora dan fauna (keanekaragaman hayati) dari kawasan hutan.
Lebih dari itu,  kebijakan jeda balak tidak akan memiliki makna yuridis dan politis apabila tidak disertai dengan political will dan political action tidak hanya dari pemerintah, tetapi dari seluruh komponen pemangku kepentingan (stakeholders), dalam bentuk aksi kaji-ulang (review), evaluasi, dan penyusunan kebijakan jeda (moratorium policy) didukung dengan peraturan perundang-undangan (legal instrument), yang meliputi:
1.    Jeda pengeluaran ijin pengusahaan hutan, pemungutan hasil hutan, ekspor kayu dan hasil hutan nonkayu, pendirian industri perkayuan, dan jeda atas ijin konversi kawasan hutan untuk kepentingan non kehutanan;
2.    Penyusunan tata ruang kawasan hutan dan inventarisasi potensi hutan yang masih tersisa secara nasional, regional, dan daerah;
3.    Inventarisasi dan evaluasi serta restrukturisasi industri perkayuan di tingkat nasional maupun daerah;
4.    Kaji-ulang dan reformulasi kebijakan dan kelembagaan pengelolaan dan pengusahaan hutan serta pemungutan hasil hutan secara nasional maupun di tingkat daerah;
5.    Revisi peraturan perundang-undangan yang out of date dan reformulasi regulasi yang kondusif bagi implementasi jeda balak;
6.    Penegakan hukum kehutanan secara konsisten dan konsekuen bagi siapa pun yang merusak hutan.
Implementasi kebijakan jeda balak semestinya memperhitungkan aspek-aspek ekonomi, industri, dan sosial-budaya masyarakat, karena jeda yang bersifat absolut pasti menimbulkan dampak negatif bagi pasokan industri perkayuan/perkakas rumah tangga, perumahan/real astate, dll. termasuk masukan pajak, retribusi bagi pendapatan/devisa negara, pendapatan asli daerah, dan jasa transportasi angkutan kayu. Oleh karena itu, jeda balak dalam arti penghentian sementara  pembalakan kayu hutan dan pemungutan hasil hutan semestinya juga dimaknai sebagai jeda secara selektif dan terbatas, hanya diberlakukan pada kawasan-kawasan hutan yang memiliki kontur dan kemiringan tertentu, yang rentan dan rawan terhadap longsoran tanah dan bencana banjir.
Yang terakhir, perlu dikonfirmasi bahwa implementasi jeda balak tidak sebatas jeda penebangan kayu secara legal, tetapi juga ditujukan pada  jeda balak yang dilakukan secara illegal oleh siapa pun, termasuk masyarakat, aparat pemerintah, anggota legislatif, aparat penegak hukum maupun oknum TNI/POLRI, dan karena itu implementasi jeda balak tidak bisa dibebankan sepenuhnya kepada pemerintah in casu Departemen Kehutanan, Perum Perhutani, atau pun Pemerintah Daerah. Tetapi, harus melibatkan komitmen yuridis, kemauan dan aksi  politis dari semua unsur stakeholders.
pt;line� g t �B �H t-family:Symbol; mso-fareast-font-family:Symbol;mso-bidi-font-family:Symbol'>·         selo soemardjan menyakan bahwa masyarakat adalah orang-orang hidup bersama.
Dalam kehidupan sehari-hari, orang tidak mungkin berurusan dengan hasil-hasil kebudayaaan .setiap orang melihat, mempergunakan, bahkan kadang-kadang  merusak kebudayaan . masyarakat adalah orang atau manusia  yang hidup bersama  yang menghasilkan  kebudayaan, keduanya tak dapat dipisahkan dan selamanya dwitunggal, tak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan sebaliknya, tak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya, walaupun secara teoritis dan untuk kepentingan analitis,  kedua persoalan tersebut dapat dibedakan dan dipelajari secara terpisah. Namun, apakahn yang disebut kebudayaan itu? Pengertian kebudayaan meliputi bidang yang luasanya seolah-olah  tidak ada batasnya. Dengan demikian, sukar sekali untuk mendapatkan pembatasan pengertian taau definisi yang tegas dan terinci yang mencakup segala sesuatu yang seharusnya termasuk dalm pengertian tersebut. Dalam pengertian sehari-hari,  istilah kebudayaan sering diarrtikan sama dengan kesenian, terutama seni suara dan tari, tetapi apabila istilah kebudayaan diartikan menurut ilmu sosial maka kesenian merupakan merupakan bagian salah satu bagian saja dari kebudayaan.
Kata “kebudayaan” berasal dari (bahasa sangsakerta) buddayah, yang merupakan bentuk jamak kata budhi, yang berarti budhi atau akal. Kebudayaan diartiakan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budhi atau akal.
Selo soemardjan dan soeleman soermardi merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Kebudayaan setiap bangsa atau masyarakat terdiri atas unsure-unsur besar maupun kecil yang merupakan bagian dari suatu kebulatan yang bersifat sebagai kesatuan. Beberapa orang sarjana telah mencoba merumuskan unsure-unsur pokok kebudayaan itu, misalnya Mel ville j. Herskovits mengajukan empat unsure  pokok kebudayaan yaitu :
1) alat-alat teknologi
2) system ekonomi
3)keluarga
4) kekuasaan politik.
.
  




                                                             





[1] Jacobus Ranjabar, Sisitem Sosial Budaya Indonesia,Ghalia Indonesia, bogor,2006, hal 20
2 Nisbet, Robert A. 1961. The study of social problems. Dalam comtemporacy social problems new York:Harcourt.       Hal 3-5.

3Nasikun, Sistem Sosial Indonesia,PT Raja Grafindo,Jakarta,1995,hal 9
o-ansi-� a u g ��H �XF p>

8). UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan terhadap Keamanan Negara.
Dalam undang-undang ini ditambahkan 6 pasal baru tentang kejahatan terhadap keamanan negara yaitu Pasal 107 a-f. Pelaksanaan pidana mati yang menurut Pasal 11 dilaksanakan di tiap gantungan telah diubah dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 tentang Pelaksanaan Pidana Mati di Pengadilan Militer dan Pengadilan Umum. Eksekusi pidana mati berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 yang kemudian dijadikan UU Nomor 2/PnPs/1964 dilaksanakan dengan cara ditembak.
Di samping adanya beberapa perundang-undangan yang merubah KUHP di atas, terdapat juga beberapa perundang-undangan di luar KUHP yang mengatur tentang pidana. Di antaranya adalah tindak pidana ekonomi (diatur dalam UU Nomor 7 Drt Tahun 1951 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi), tindak pidana korupsi (diatur dalam UU Nomor 3 tahun 1971 kemudian diperbaharui dengan UU Nomor 31 Tahun 1999 dan diperbaharui lagi dengan UU Nomor 20 Tahun 2001), tindak pidana narkotika (diatur dengan UU Nomor 22 Tahun 1997), tindak pidana psikotropika (diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1997), tindak pidana lingkungan hidup (diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 1997), tindak pidana pencucian uang (diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 2003), tindak pidana terorisme (diatur dengan UU Nomor 15 Tahun 2003), dan lain sebagainya.

Ilmu Sosial Dasar

ILMU SOSIAL DASAR
1.      Jelaskan Berbagai Pendekatan Sistematik Dan Masalah Sosial Budaya ?
pendekatan sistematik yaitu :
terdapat dari individu, keluarga, masyarakat, agama.
Masalah-masalah sosisal telah menghantui manusia sejak adanya peradaban manusia karena dianggap sebagai pengganggu kesejahteraan hidup mereka sehingga merangsang para warga masyarakat untuk mengidentifikasi, menganalisis, memahami, dan memikirkan cara-cara untuk mengatasinya.di masa lampau, pada waktu belum ada ahli-ahli ilmu sosial, para warga masyarakat yang biasanya peka terhadap adanya masalah-masalah  sosial adalah para ahli filsafat, para ahli dan pemuka agama, serta para ahli politik dan kenegaraan.
Di samping pendekatan-pendekatan  tersebut, berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang tergolong dalam ilmu sosial (seperti antropologi, sosiologi, politik, psikologi sosial, dan komunnikasi)
Perubahan sosial dan perubahan budaya adalah proses-proses yang secara tepat dan terus menerus dialami oleh setiap masyarakat manusia, cepat atau lambat, berlangsung dengan tenang ataupun berlangsung dengan kekacauan[1]
Sosiologi menggunakan beberapa pokok persosalaln berbagai ukurun, sebagai berikut:
·         unsur-unsur yang pertama dan pokok dari masalah sosial adalah adanya perbedaann yang mencolok antara nilai-nilai dengan kondisi-kondisi  nyata kehidupan. artinya, adanya kepincangan-kepincangan antara anggapan-anggapan tentang apa yang seharusnya  terjadi dengan apa yang terjadi dalam kenyataan  pergaulan hidip. sbet
·         Masalah sosial merupakan persoalan yang timbul secara langsung dari atau bersumber langsung pada kondisi maupun proses-proses sosial. Jadi. Sebab-sebab terpenting masalah sosial haruslah bersifat sosisal, tetapi juga pada sumbernya.
·         sukar untuk membayangkan bahwa setiap warga negara masyarakat harus menentukan nilai-nilai sosial untuk kemudian dilebur menjadi satu pendapat.
Ø  Kemiskinan
Ø  Kejahatan
Ø  Disorganisasi Keluarga
Ø  Masalah Generasi Muda Dalam Masyarakat Moder
Ø  Peperangan
Ø  Pelanggaran Terhadap Norma-Norma Masyarakat
Ø  Masalah Kependudukan
Ø  Masalah Lingkungan Hidup
2.      Jelaskan Berbagai Pendekatan Teoritis Tentang System Sosial Budaya ?
pendekatan teoritis itu terbagi menjadi dua macam yaitu[2] :
1.      structural-functional approach
2.      Pendekatan konflik
structural-functional approach
Yang Dimaksud Dengan structural-functional approach , sudut pendekatan yang menganggap bahwa masyarakat pada  dasarnya terintegrasi atas dasar kata sepakat para anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu ,suatu general agreements yang memiliki daya mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan diantara para anggota masyarakat. Ia memandang masyarakat sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi kedalam suatu bentuk equilibrium. Oleh karena sifatnya yang demikian,maka aliran pemikiran tersebut juga sebagai integration approach,order approach, atau equilibrium approach, atau dengan lebih opuler disebut sebagai structural-functional approach (selanjutnya disebut pendekatan fungsional structural atau fyngsionallisme-struktural .
Pendekatan fungsionalisme structural sebagaimana yang telah dikembangkan oleh Parson dan para pengikutnya,dapat kita kaji melalui sejumlahanggapan dasar mereka sebagai berikut:
·         Masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu system daripada bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain.

·         Dengan demikian hubungan mempengaruhi di antara bagian-bagian tersebut adalah bersifat ganda dan timbale balik
·         Sekalipun integrasi sosial tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna,namun secara fundamental system sosial selalu cenderumg bergerak kearah equilibrium yang bersifat dinamis.
·         Sekalipun disfungsi,ketgangan-ketegangan, dan penyimpangan-penyimpangan senantiasa terjadi juga ,akan tetapi di dalam jangka yang panjang keadaan tersebut pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya melalui penyesuaian-penyesuaian dan proses institusionalisasi.
·         Factor paling penting yang memiliki daya mengintegrasikan suatu system sosial adalah consensus diantara para anggita masyarakat mengenai nilai-nilai kemasyarakatan tertentu.
Oleh karena ia mengabaikan kenyatan-kenyatan itulah, maka Pendekatan fungsionalisme structural dipanndang oleh banyak para ahli sosiologi sebagai pendekatan yang bersifat reaksioner,dan oleh kerananya dianggap kurang mampu menganalisis masalah-masalah perubahan kemasyarakatan.
Mempelajari system sosial budaya akan lebih mengenai bila mengetahui terlebih dahulu apakah suatu system itu. Pengertian tentang system pertama kali dapat diperoleh dari definisinya. Dengan demikian definisi ini akan mempunyai peranan yang penting didalam pendekatan unuk mempelajari susatu system. Pendekatan system yang merupakan kumpulan dari elemen-elemen atau komponen-komponen atau subsistem merupakan definisi yang lebih luas. Definisi  ini banyak lebih diterima, karena kenyataan suatu system dapat terdiri atas beberapa subsistem atau system bagian.
Menelaah kehidupan masyarakat sebaqai system sosial dan system budaya, maka terlebih dahulu, perlu  mengkaji pengertian masyarakat agar dapat memperoleh suatu gambaran awal. Dalam pengertian sosiologi , masyarakat tidak dipandang sebagai suatu kummpulan individu atau sebagai penjumlahan dari individu-individu  semata-mata. Masyarakat merupakan suatu pergaulan hidup, oleh karena manusia itu hidup bersama.
Beberapa orang sarjana telah mencoba untuk memberikan definisi masyarakat (society) diantaranya:
·         Mac iver dan page yang mengatakan bahwa masyarakat ialah suatu system dari kebiasaan dann tata cara , dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok dan penggolongan, dari pengawasan tingkah laku serta kebebasan-kebebasan manusia.
·         Ralp Linton mengemukakan, masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja sama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap dari mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas.
·         selo soemardjan menyakan bahwa masyarakat adalah orang-orang hidup bersama.
Dalam kehidupan sehari-hari, orang tidak mungkin berurusan dengan hasil-hasil kebudayaaan .setiap orang melihat, mempergunakan, bahkan kadang-kadang  merusak kebudayaan . masyarakat adalah orang atau manusia  yang hidup bersama  yang menghasilkan  kebudayaan, keduanya tak dapat dipisahkan dan selamanya dwitunggal, tak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan sebaliknya, tak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya, walaupun secara teoritis dan untuk kepentingan analitis,  kedua persoalan tersebut dapat dibedakan dan dipelajari secara terpisah. Namun, apakahn yang disebut kebudayaan itu? Pengertian kebudayaan meliputi bidang yang luasanya seolah-olah  tidak ada batasnya. Dengan demikian, sukar sekali untuk mendapatkan pembatasan pengertian taau definisi yang tegas dan terinci yang mencakup segala sesuatu yang seharusnya termasuk dalm pengertian tersebut. Dalam pengertian sehari-hari,  istilah kebudayaan sering diarrtikan sama dengan kesenian, terutama seni suara dan tari, tetapi apabila istilah kebudayaan diartikan menurut ilmu sosial maka kesenian merupakan merupakan bagian salah satu bagian saja dari kebudayaan.
Kata “kebudayaan” berasal dari (bahasa sangsakerta) buddayah, yang merupakan bentuk jamak kata budhi, yang berarti budhi atau akal. Kebudayaan diartiakan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budhi atau akal.
Selo soemardjan dan soeleman soermardi merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Kebudayaan setiap bangsa atau masyarakat terdiri atas unsure-unsur besar maupun kecil yang merupakan bagian dari suatu kebulatan yang bersifat sebagai kesatuan. Beberapa orang sarjana telah mencoba merumuskan unsure-unsur pokok kebudayaan itu, misalnya Mel ville j. Herskovits mengajukan empat unsure  pokok kebudayaan yaitu :
1) alat-alat teknologi
2) system ekonomi
3)keluarga
4) kekuasaan politik.
.
  




                                                             





[1] Jacobus Ranjabar, Sisitem Sosial Budaya Indonesia,Ghalia Indonesia, bogor,2006, hal 20
2 Nisbet, Robert A. 1961. The study of social problems. Dalam comtemporacy social problems new York:Harcourt.       Hal 3-5.

3Nasikun, Sistem Sosial Indonesia,PT Raja Grafindo,Jakarta,1995,hal 9
o-ansi-� a u g ��H �XF p>

8). UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan terhadap Keamanan Negara.
Dalam undang-undang ini ditambahkan 6 pasal baru tentang kejahatan terhadap keamanan negara yaitu Pasal 107 a-f. Pelaksanaan pidana mati yang menurut Pasal 11 dilaksanakan di tiap gantungan telah diubah dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 tentang Pelaksanaan Pidana Mati di Pengadilan Militer dan Pengadilan Umum. Eksekusi pidana mati berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 yang kemudian dijadikan UU Nomor 2/PnPs/1964 dilaksanakan dengan cara ditembak.
Di samping adanya beberapa perundang-undangan yang merubah KUHP di atas, terdapat juga beberapa perundang-undangan di luar KUHP yang mengatur tentang pidana. Di antaranya adalah tindak pidana ekonomi (diatur dalam UU Nomor 7 Drt Tahun 1951 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi), tindak pidana korupsi (diatur dalam UU Nomor 3 tahun 1971 kemudian diperbaharui dengan UU Nomor 31 Tahun 1999 dan diperbaharui lagi dengan UU Nomor 20 Tahun 2001), tindak pidana narkotika (diatur dengan UU Nomor 22 Tahun 1997), tindak pidana psikotropika (diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1997), tindak pidana lingkungan hidup (diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 1997), tindak pidana pencucian uang (diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 2003), tindak pidana terorisme (diatur dengan UU Nomor 15 Tahun 2003), dan lain sebagainya.